Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jelang FOMC, Ini Proyeksi Rupiah 13-17 Maret

Mata uang rupiah diperkirakan melemah ke kisaran Rp13.400-13.600 per dolar AS pada pekan depan bila Federal Reserve melakukan pengerekaMata uang rupiah diperkirakan melemah ke kisaran Rp13.400-13.600 per dolar AS pada pekan depan bila Federal Reserve merek naik suku bunga.n suku bunga.
Karyawan menghitung lembaran uang rupiah dan dolar./JIBI-Endang Muchtar
Karyawan menghitung lembaran uang rupiah dan dolar./JIBI-Endang Muchtar

Bisnis.com, JAKARTA--Mata uang rupiah diperkirakan melemah ke kisaran Rp13.400-13.600 per dolar AS pada pekan depan bila Federal Reserve merek naik suku bunga.

Rupiah mengakhiri perdagangan Jumat (10/3) dengan penguatan sebesar 0,1% atau 14 poin ke posisi Rp13.376 per dolar AS setelah diperdagangkan pada kisaran Rp13.366 – Rp13.406 per dolar AS. Kurs tengah dipatok Rp13.375 per dolar AS.

Artinya, dalam sepekan kemarin rupiah menguat tipis 7 poin atau 0,05%. Sementara itu, indeks dolar AS pada perdagangan akhir pekan kemarin turun 0,6 poin atau 0,59% menuju 101,25.

Sepanjang 2017, mata uang Garuda masih meningkat 0,72%. Tahun lalu, rupiah tumbuh 2,28% year on year/yoy menjadi Rp13.473 per dolar AS.

Andri Hardianto, analis Asia Trade Point Futures, menuturkan dalam dua pekan terakhir pergerakan rupiah dibayangi sentimen penguatan dolar AS akibat sikap hawkish para pejabat Federal Reserve. Namun, kondisi domestik cukup kuat, sehingga masih mampu menopang penguatan mata uang Garuda.

Dalam sepekan ini, setidaknya ada tiga data ekonomi yang berefek positif terhadap rupiah, yakni cadangan devisa, penjualan ritel, dan indeks kepercayaan konsumen (IKK).

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) posisi cadangan devisa Indonesia pada Februari 2017 tercatat sebesar US$119,9 miliar, lebih tinggi dari bulan sebelumnya senilai US$116,9 miliar. Penerimaan tersebut melampaui kebutuhan devisa untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) valas jatuh tempo.

Sementara penjualan ritel atau indeks penjualan riil (IPR) Februari 2017 diperkirakan tumbuh stabil 6,3% yoy sama seperti Januari. Namun, pencapaian itu lebih rendah dari IPR Desember 2016 yang tumbuh 10,5% yoy. Adapun IKK periode Februari 2017 meningkat sebesar 117,1 dari bulan sebelumnya di level 115,3.

"Berbagai data positif seperti cadangan devisa diyakini memberi ruang bagi BI untuk menjaga rupiah di tengah sentimen kenaikan suku bunga AS pekan depan," tuturnya kepada Bisnis.com, Minggu (12/3/2017).

Probabilitas kenaikan suku bunga menjadi 0,75%-1% dalam Federal Open Market Committee (FOMC) Rabu (15/3/2017) sudah mencapai 100%. Sebelumnya, The Fed mengerek suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,5%-0,75% pada Desember 2016.

Walaupun demikian, data ekonomi AS yang dirilis pekan kemarin cenderung mixed, sehingga indeks dolar terkoreksi. Pelaku pasar juga lebih memilih menanti hasil rapat FOMC.

Data pengangguran pada Februari turun menjadi 4,7% dari bulan sebelumnya 4,8%. Adapun data upah per jam pada bulan kedua 2017 stabil di posisi 0,2%, tetapi di bawah ekspektasi konsensus sebesar 0,3%.

Sementara pertumbuhan tenaga kerja nonpertanian (Non Farm Payroll/NFP) melambat sedikit menjadi 235.000 pekerja, dari Januari 2017 sejumlah 238.000 pekerja. Data perihal tenaga kerja menjadi salah satu patokan utama The Fed untuk menentukan kebijakan moneter.

"Data tenaga kerja AS masih cenderung mixed, sehingga pasar menanti kepastian dari FOMC," tuturnya.

Dampak pertemuan FOMC, sambung Andri, akan menekan rupiah ke posisi Rp13.400-Rp13.600 per dolar AS dalam sepekan ke depan. Namun bila kenaikan Fed Fund Rate (FFR) urung dilakukan, maka pergerakan mata uang Garuda realtif serupa seperti dua minggu sebelumnya.

Selain FOMC, faktor lain yang memengaruhi rupiah ialah harga minyak mentah. Pekan lalu, harga minyak WTI sempat menyentuh level US$48 per barel yang menjadi sentimen negatif bagi rupiah.

Pada penutupan perdagangan Jumat (10/3), harga minyak WTI turun 0,79 poin atau 1,6% menuju US$48,49 per barel. Ini kedua kalinya harga minyak diperdagangan di bawah level US$50 per barel sepanjang 2017.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Editor : Saeno

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper