Bisnis.com, JAKARTA--Harga alumunium berpeluang melanjutkan penguatan ke area US$2.000 per ton pada tahun ini seiring dengan rencana China melanjutkan pengurangan produksi.
Pada penutupan perdagangan Rabu (18/1), harga alumunium di London Metal Exchange naik 36,5 poin atau 2,03% menjadi US$1.834 per ton. Angka ini merupakan level tertinggi sejak Mei 2015.
Seperti dikutip dari Bloomberg, Goldman Sachs Group Inc., dalam publikasinya menuliskan alumunium bisa membukukan peningkatan harga yang signifikan jika China, sebagai produsen terbesar di dunia, melanjutkan pengurangan aktivitas produksi. Langkah ini sekaligus mengantisipasi kebijakan pengetatan perdagangan dengan Amerika Serikat.
China menyumbang sekitar 50% pasokan alumunium dunia. Dengan estimasi negara mengurangi produksi sebesar 2,5 juta ton, maka pasar global menuju keseimbangan bahkan cenderung defisit antara 1,5-2,5 juta ton.
"Saat ini harga alumunium masih cenderung bearish. Namun, bila China memangkas suplai hingga 2,5 juta ton, ini menjadi basis kuat agar harga mencapai US$2.000 per ton," tulis Yubin Fu dan Max Layton, analis Goldman Sachs, Kamis (19/1/2017).
Analisis dari Goldman mengacu kepada kemungkinan pemotongan kapasitas produksi di tiga provinsi yang berkontribusi terhadap 11% suplai China dan 6% pasokan dunia. Saat ini, alumunium masih dalam tren menguat di kisaran US$1.800 per ton dan berhasil tumbuh 12% pada tahun lalu.
Presiden China Xi Jinping mengisyaratkan pemerintah akan memperluas reformasi suplai untuk membantu meningkatkan pasar baja dan batu bara pada 2016. Sementara perusahaan alumunium berada di bawah tekanan karena laporan AS kepada World Trade Organization (WTO) perihal subsidi China untuk produsen dalam negeri, sehingga menopang produksi dan menekan harga global.
"Tindakan WTO kemungkinan membuat beberapa penyesuaian produksi di China. Kemudian potensi pemotongan pasokan baja dan batu bara bisa meluas ke komoditas lain seperti semen dan alumunium," papar laporan.
Berdasarkan data Bank Dunia, China merupakan produsen sekaligus konsumen alumunium terbesar di dunia. Pada 2015, produksi Negeri Panda mencapai 31,41 juta ton dari total global 57,34 juta ton, sedangkan konsumsi sebesar 31,07 juta ton dari total global 57,08 juta ton.
Dalam riset lainnya, Perusahaan finansial Choice International Ltd., memaparkan secara umum harga logam berpeluang mengalami penguatan pada bulan depan seiring dengan memanasnya harga minyak. Langkah-langkah pemangkasan produksi OPEC sebesar 1,2 juta barel per hari diperkirakan mulai direspon pasar.
Minyak mentah sebagai komoditas strategis merupakan komponen penting yang menentukan pembiayaan produksi logam. Oleh karena itu, keduanya memiliki tren harga yang berbanding lurus.
Selain itu, aktivitas manufaktur global, terutama China menunjukkan optimisme, sehingga menopang penguatan harga di area positif. Namun, dalam jangka panjang penguatan dolar AS akibat pengerekan suku bunga dapat menekan harga komoditas.
Pada tahun ini, Federal Reserve merencanakan pengerekan suku bunga sebanyak tiga kali. Langkah tersebut dipercaya baru akan dilakukan mulai Juni 2017.
Secara khusus, harga alumunium berpeluang melanjutkan penguatan karena meningkatnya permintaan dan momentum positif dari harga minyak. Di sisi lain, ada indikasi pengetatan pasokan dari penutupan sejumlah unit smelter para negara produsen utama.