Bisnis.com, JAKARTA – Koreksi pasar obligasi diperkirakan masih terus berlanjut hingga menyentuh titik keseimbangan baru pada Agustus setelah data inflasi diumumkan pemerintah pada Juli.
I Made Adi Saputra, Analis Ob ligasi PT Nusantara Capital Securities, memperkirakan yield surat utang negara bertenor 10 tahun tidak akan menyentuh level 10% mengingat pasar obligasi masih menyimpan likuiditas yang baik. “Saya kira tidak akan sampai menyentuh level 10% karena masih ada likuiditas di pasar,” katanya, Jumat (12/7/2013).
Dia memproyeksikan pergerakan yield obligasi acuan bertenor 10 tahun akan berada di kisaran 8%–8,1% dan kemungkinan akan terus naik mengingat minimnya sentimen positif dari dalam negeri.
Menurutnya, kekhawatiran yang masih muncul di kalangan investor adalah proyeksi inflasi pada Juli akan lebih tinggi yang dipicu kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi dan melonjaknya kebutuhan masyarakat pada Ramadan. “Investor masih wait and see. Ada yang masuk secara short term, lalu kemudian keluar lagi,” tuturnya.
Menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, jumlah kepemilikan asing di surat berharga negara yang diperdagangkan hingga 11 Juli 2013 mencapai Rp284,92 triliun, naik Rp1,96 triliun dibandingkan dengan akhir Juni senilai Rp282,96 triliun.
Sementara itu, lanjutnya, sentimen negatif dari pasar global sudah mulai mereda setelah Ben Ber nanke, US Federal Reserve Chairman, mengindikasikan masih akan mendukung program stimulus moneternya. “Kemungkinan pengurangan stimulus tidak akan dalam waktu dekat ini. Ini jadi sentimen positif bagi investor.
Budi Susanto, Head of Debt Research PT Danareksa Sekuritas, mengungkapkan pada saat ini investor sedang membaca kebijakan yang diambil Bank Indo nesia sehingga banyak yang memilih wait and see.
Dia menuturkan pada Agustu nanti, pasar akan menyentuh titik keseimbangan baru setelah data ekonomi, khususnya inflasi, dirilis pemerintah untuk mengukur dampak kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi.“Jadi sebenarnya sekarang ini, pasarnya tidak terlalu tebal. Biasanya pada market turnover, sentimen yang bermain. Investor masih wait and see,” ujarnya.
Senada, Budi melihat likuiditas di pasar obligasi domestik masih baik dan memperkirakan asing masih tertarik untuk masuk ke lelang SUN yang akan dilaksanakan pemerintah dalam beberapa waktu ke depan.
Sebagai informasi, data PT Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency/IBPA) memperlihatkan yield obligasi negara acuan bertenor 10 tahun FR0063 ditutup pada Jumat (12/7) naik 33 basis poin ke level 8,08%, atau tertinggi sejak Maret 2011.
INDEKS FLUKTUATIF
Pada bagian lain, di tengah tren ambil untung dari investor, indeks harga saham gabungan (IHSG) diperkirakan bergerak fluktuatif pada pekan ini seiring dengan sentimen negatif dari perlambatan pertumbuhan ekonomi China.
Purwoko Sartono, analis PT Panin Sekuritas Tbk, menilai pejabat pemerintah China dalam mentoleransi perlambatan pertumbuhan ekonomi China, atau dibawah target awal sebesar 7%, dapat menjadi katalis negatif bagi bursa regional.
“Tren ambil untung masih tinggi, alhasil indeks masih akan bergerak volatile. Kami memperkirakan IHSG akan berada di level support resistance 4.605-4.688 pada awal pekan ini,” ujarnya, Minggu (14/7/2013).
Seperti diketahui, Menteri Ke uangan China Lou Jiwei berpendapat pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%, yang jauh di bawah target awal pemerintah sebesar 7,5%, bukanlah sebuah masalah besar bagi negara berperekonomian terbesar kedua di dunia itu.
Kepala Riset PT Trust Securities Reza Priyambada memperkirakan IHSG akan berada pada rentang support 4.496–4.586 dan resisten 4.788-4.868 pada sepanjang pekan ini. “Indeks belum menyentuh target resisten 4.788–4.868), alhasil tekanan jual masih akan
tinggi,” ujarnya.
Rheza Mihardja, analis PT Sinarmas Sekuritas, memproyeksikan pada perdagangan saham, Senin (15/7/2013), IHSG akan bergerak fluktuatif di level 4.580–4.635 seiring ekspektasi pasar terkait perpanjangan stimulus. (Maftuh Ihsan & Ringkang Gumiwang)