Bisnis.com, JAKARTA — Sektor perbankan, konsumen, dan media diyakini masih akan penopang kinerja keuangan emiten grup konglomerasi sampai akhir 2019 di tengah masih redupnya harga komoditas dan bayang-bayang perlambatan ekonomi global.
Senior Vice President Royal Investium Sekuritas Janson Nasrial menjelaskan bahwa sektor perbankan, konsumen, media menjadi penopang pertumbuhan kinerja keuangan sejumlah grup konglomerasi pada semester I/2019. Pertumbuhan laba bersih dari tiga lini usaha itu berada di atas 10 persen di tengah-tengah perlambatan ekonomi global.
“Konglomerasi yang salah satu unit usahanya di sektor perbankan, konsumen, dan media akan terbantu kinerja keuangannya,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (30/7/2019).
Dia menggambarkan beberapa kelompok usaha yang memiliki lini usaha itu yakni Grup Astra lewat BNLI, Grup Salim lewat ICBP, dan Grup MNC lewat MNCN.
Di sisi lain, dia menilai konglomerasi yang unit usahanya berada di sektor properti dan perkebunan, khususnya sawit, masih mengalami tekanan dalam tiga tahun terakhir. Secara keseluruhan, pertumbuhan emiten yang berada di sektor itu masih harus berjuang untuk membukukan pertumbuhan laba bersih.
Menurutnya, di sektor properti, hanya emiten yang menjual rumah di bawah Rp1 milar memiliki catatan kinerja yang baik. Hasil itu di antaranya dibukukan oleh PWON dan SMRA.
Baca Juga
Selain properti dan perkebunan, Janson memaparkan tantangan juga masih dihadapi oleh grup konglomerasi yang mengandalkan bisnis batu bara. Menurutnya, kondisi itu akan berlangsung selama 2 tahun ke depan.
EKONOMI GLOBAL
Secara umum, grup konglomerasi juga menghadapi tantangan dari ekonomi global. Kondisi tersebut dipicu oleh perang dagang dan ekonomi China yang melambat.
Kendati demikian, Janson menyebut sejumlah grup konglomerasi masih memiliki prospek sampai dengan akhir tahun ini. Kelompok itu menurutnya yakni MNC, Salim, dan Astra.
Untuk Grup Astra, kinerja keuangan masih terbantu oleh unit usaha UNTR. Entitas anak itu sudah melakukan diversifikasi usaha ke bisnis pertambangan emas.
Sebaliknya, pihaknya memproyeksikan harga batu bara masih cenderung flat untuk 2 tahun hingga 3 tahun ke depan. Oleh karena itu, diprediksi grup konglomerasi yang mengandalkan lini usaha tersebut masih menghadapi tantangan ke depan.