Bisnis.com, JAKARTA - Mirae Asset Sekuritas Indonesia menilai estimasi keuntungan bisnis Erajaya Swasemabda (ERAA) berpotensi terlampaui, dengan semakin ekspansifnya pengembangan jaringan pemasaran emiten distributor ponsel tersebut.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Emma A. Fauni mengungkapkan pihaknya telah mengunjungi Erajaya Swasemabda, distributor ponsel terbesar di Indonesia. Didirikan pada 1996, ERAA berkembang menjadi sebuah perusahaan yang menjual berbagai macam merek ponsel dan berbagai macam portofolio produk.
ERAA merupakan distributor ponsel terbesar di Indonesia yang menjual berbagai macam merek. Perusahaan mengklaim menguasai pangsa pasar sebesar 35% dalam penjualan pada kuartal I/2018.
ERAA belakangan ini menujukkan kinerja laba yang kuat karena memiliki kerja sama eksklusif dengan Xiaomi, yang mana brand dengan pertumbuhan paling pesat di pasar smartphone dunia. Di samping itu, ERAA juga memiliki kerja sama dengan Apple, Samsung, Oppo, Vivo, Asus, Nokia, LG, dan vendor smartphone lainnya.
ERAA berada di posisi yang baik untuk merebut pangsa pasar penjualaan ponsel akibat meredupnya aktivitas penjualan di pasar gelap. Pemerintah melakukan tindakan untuk menghentikan pasar gelap ponsel, dengan cara penerapan aturan tingkat konten dalam negeri (TKDN) dan persiapan untuk mengimplementasikan verifikasi nomor IMEI.
ERAA memiliki jaringan distribusi yang luas, terdiri atas 84 pusat distribusi, 787 outlet ritel, dan lebih dari 53,000 reseller pihak ketiga. Tahun ini, ERAA menargetkan membuka 250 toko baru yang difokusikan untuk penjualan di kota-kota second- dan third-tier. Kami yakin bahwa ini dapat meningkatkan marjin ERAA karena melakukan penjualan lebih banyak ke konsumen akhir.
Untuk tahun 2018, ERAA menargetkan pendapatan sebsar IDR28tr (+15.6% YoY) dan keuntungan bersih sebesar Rp390 miliar (+14.9% YoY). Hingga semester I/2018, ERAA sudah mencapai keuntungan bersih Rp435,1 miliar, mencapai 67.3% dari estimasi konsensus untuk setahun penuh.
"Dengan performa semester I/2018 yang kuat, kami yakin konsensus akan perlu untuk merevisi estimasi keuntungan bersih, yang berarti adanya re-rating dan potensi kenaikan. Risiko yang ada berupa kompetisi yang lebih ketat, keterlambatan implementasi verifikasi data IMEI, dan daya beli konsumen yang lebih rendah," jelasnya dalam riset yang diterima Bisnis, Senin (13/8/2018).