Bisnis.com, JAKARTA — Krisis Silicon Valley Bank atau SVB menimbulkan kekhawatiran investor dan pemberi pinjaman di Jepang, terutama melalui bank-bank di sana. Para investor yang melakukan penempatan besar di obligasi Amerika Serikat kini merasa waswas.
Dilansir dari Bloomberg, perbankan Jepang meningkatkan investasi berbentuk utang luar negeri dalam satu dekade terakhir, terutama karena kebijakan pelonggaran moneter agresif oleh Gubernur Bank of Japan (BoJ) Haruhiko Kuroda yang menurunkan imbal hasil di dalam negeri.
Porsi investasi utang luar negeri memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan portofolio dalam negeri bank-bank Jepang. Namun, investor tetap mengkhawatirkan portofolionya di Amerika Serikat (AS) pasca krisis SVB.
Hal itu tercermin dari kinerja indeks Topix Bank yang turun 9,2 persen dalam dua sesi terakhir. Kinerja itu tercatat lebih dari tujuh kali lipat penurunan indeks keuangan Asia yang lebih luas tidak termasuk Jepang.
Penurunan kinerja lebih besar terjadi pada bank-bank regional karena para investor melihat struktur bisnis mereka lebih lemah daripada pemberi pinjaman utama. Fukushima Bank Ltd. dan Chiba Kogyo Bank Ltd. mencatatkan penurunan lebih dari 6 persen pada perdagangan Senin (12/3/2023).
Analis senior Morningstar Michael Makdad menilai bahwa para deposan Jepang tidak menghadapi risiko pada deposito mereka dalam hal apapun. Harga saham bank-bank regional yang turun tidak serta merta menjadi ancaman bagi deposito mereka.
"Wajar jika para investor ekuitas mempertimbangkan lagi risiko suku bunga dari kepemilikan obligasi bank-bank regional Jepang," ujar Makdad, dilansir dari Bloomberg pada Rabu (14/3/2023).
Berdasarkan data BoJ, pada April—Juni 2022, Value at Risk (VaR) kepemilikan obligasi dolar bank-bank besar Jepang telah meningkat menjadi 2,29 triliun yen atau berkisar US$17 miliar. Padahal, pada awal 2014 nilai VaR masih 1,2 triliun yen.
Eksposur bank-bank regional meningkat hampir dua kali lipat selama periode yang sama. Metrik itu mengukur seberapa besar kerugian yang akan mereka derita ketika suku bunga naik 200 basis poin.
BOJ menyatakan bahwa risiko suku bunganya terkendali dengan baik, yaitu sekitar 10 persen dari modal untuk bank-bank besar dan 5 persen untuk bank-bank regional yang lebih kecil.
Petaka SVB berakar pada penanaman obligasi jangka panjang senilai puluhan miliar, dengan keyakinan bahwa suku bunga akan tetap stabil. Imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun ternyata melonjak 236 basis poin pada 2022 di tengah pengetatan agresif oleh The Fed untuk mengatasi inflasi.
Setelah dua bulan yang bergejolak pada 2023, imbal hasil jatuh dalam beberapa sesi terakhir karena runtuhnya tiga bank AS. Hal itu memicu spekulasi bahwa The Fed akan memilih untuk tidak menaikkan suku bunga dalam jumlah besar.
Pakar strategi keuangan global SMBC Nikko Securities Masao Muraki menilai bahwa kenaikan suku bunga menyebabkan kerugian di SVB dan memicu kekhawatiran bahwa mungkin ada bank-bank lain yang memiliki masalah serupa.
Meskipun begitu, menurutnya, risiko bunga dari portofolio obligasi domestik merupakan ancaman yang lebih besar bagi bank-bank Jepang. Para analis melihat kerusakan yang terbatas karena BOJ tidak mungkin menaikkan suku bunga dengan kekuatan yang sama dengan the Fed.
Analis pasar senior SMBC Trust Bank Masahiro Yamaguchi menilai bahwa kondisi perbankan Jepang dan AS sangat berbeda. Pasalnya, suku bunga AS naik menjadi 5 persen, sedangkan imbal hasil obligasi Jepang hanya naik menjadi 0,5 persen.
"Saya rasa bank-bank Jepang tidak terpojok sebanyak itu," ujar Yamaguchi.
Baca Juga