Bisnis.com, JAKARTA — Emiten pertambangan mineral dihadapkan pada tantangan akselerasi teknologi pemurnian untuk menghasilkan nikel kelas 1 yang menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik. Sebut saja PT Vale Indonesia Tbk. (INCO), PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. (ANTM) dan PT Merdeka Copper Gold Tbk. (MDKA).
Pemerintah menyambut gayung permintaan nikel kelas 1 yang semakin meningkat dengan rencana untuk membatasi investasi baru pada pabrik pirometalurgi rotary kiln-electric furnace (RKEF).
Sebagai gambaran, nikel berkadar rendah yang ditemukan di Indonesia harus diproses dengan teknologi hidrometalurgi atau High Pressure Acid Leach (HPAL) untuk menghasilkan nikel kelas 1. Selama ini, proses pirometalurgi pada nikel Indonesia hanya menghasilkan nikel kelas 2 berupa nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi) untuk kemudian dibuat menjadi stainless steel.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) tengah menyusun kebijakan pemberhentian atau moratorium investasi baru pada pembangunan pabrik RKEF.
Kebijakan moratorium itu juga akan diikuti dengan penyesuaian corrective factor (CF) untuk harga patokan mineral (HPM) bijih nikel kadar tinggi. Harapannya, terjadi peralihan konsumsi bahan baku untuk pabrik pengolahan nikel pada limonit.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Irwandy Arif mengatakan manuver itu diambil untuk meningkatkan investasi baru pada pabrik hidrometalurgi yang mengolah lebih lanjut bijih nikel kadar rendah atau limonit menjadi baterai kendaraan listrik hingga panel surya.