Bisnis.com, JAKARTA – Starbucks adalah bisnis keuangan berkedok kopi. Anekdot itu sudah cukup populer di kalangan pelaku pasar AS, bukan dalam konotasi negatif namun sebaliknya. Waralaba yang telah menyebar ke lebih dari 80 negara ini makin sukar ditandingi oleh bisnis-bisnis kopi sejenis.
Lewat program Starbucks Card, meminjam kalimat Jason Mall dalam analisisnya di The Motley Fool, Starbucks telah “memikat para calon pelanggan untuk menyetor uang kepada perusahaan di muka.”
Kemudian lewat program rewards dan aneka promosi diskon, Starbucks dengan brilian membujuk para penyetor uang itu untuk mampir dan terus mampir ke gerai kopinya. Mereka datang dalam rangka mengonversi uang-uang yang telah disetor tadi menjadi kopi dan kudapan, kemudian menyetor uang lagi, untuk nantinya dikonversi jadi kopi lagi, begitu seterusnya.
“Angka yang mereka catatkan impresif. Maksudku, saldo mengendap [di Starbucks Card] memang bukan milik perusahaan sampai konsumen mengonversinya jadi kopi. Tapi, itu tetap uang bebas dan ketika ditaruh di bank, perusahaan mendapat pemasukan lain berupa bunga,” papar analis keuangan Matthew Frankel.
Seperti kata Frankel, potensi ternak duit dari perputaran uang Starbucks Card dan Starbucks Rewards memang luar biasa. Dalam laporan keuangan tahunan terakhir yang rilis Oktober 2021, entitas Starbucks di AS melaporkan adanya saldo liabilitas value cards and loyalty program senilai US$1,44 miliar atau setara Rp21 triliun (kurs Rp14.500 per US$). Untuk catatan, mayoritas nominal akun ini menggambarkan jumlah “saldo mengendap” dalam akun Starbucks Card per akhir periode pelaporan keuangan, yakni 3 Oktober 2021.