Bisnis.com, JAKARTA – Restrukturisasi PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) saat ini seolah mengulang 'simalakama' akibat peristiwa serupa 16 tahun lalu.
Sebelum terlilit utang senilai Rp142 triliun yang tengah diupayakan restrukturisasinya saat ini, pada medio 2000-an Garuda Indonesia telah lebih dahulu terbelit utang sebesar US$794,6 juta atau sekitar Rp7,35 triliun, hasil dari kebijakan pembelian pesawat pada 1990-an yang diduga bermasalah.
Hal itu mengemuka dalam sebuah pemberitaan di Harian Bisnis Indonesia, Rabu 28 Juni 2006. Nilai utang tersebut merupakan posisi per 31 Desember 2005 yang restrukturisasinya ditarget selesai sekitar Juni 2006. Belakangan diketahui jalannya restrukturisasi meleset dari target.
Bisnis Indonesia memuat petikan wawancara dengan Staf Ahli Menteri Negara BUMN saat itu, Aries Muftie yang juga duduk di kursi Komisaris GIAA.
Aries menyebut restrukturisasi Garuda ibarat simalakama dan sempat mewacanakan untuk memanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki dugaan inefisiensi.
"Ini semacam buah simalakama. Kalau tidak dibantu akan kolaps, padahal Garuda ini salah satu kebanggan kita," ujar Aries dalam petikan wawancara itu dikutip Selasa (28/6/2022).