Bisnis.com, JAKARTA – Belum lama ini topik mengenai beban gaji yang terlampau tinggi bagi perusahaan rintisan (startup) menjadi pembahasan yang menarik di berbagai platform media sosial.
Besarnya pengeluaran gaji untuk para pekerja di sebuah startup, dinilai menjadi salah satu beban yang cukup berarti bagi perusahaan terkait. Tak heran, jika langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) dinilai sejumlah pengamat, menjadi solusi bagi startup yang ingin melakukan efisiensi operasional lantaran sedang seret memperoleh pendanaan atau pendapatannya tidak sesuai ekspektasi.
Di sisi lain topik mengenai tingginya tarif gaji bagi para pekerja startup, terutama yang bergerak di sektor teknologi, juga sempat menjadi isu krusial di Indonesia. Hal itu tak lepas dari tak seimbangnya pasokan antara tenaga kerja sektor teknologi dengan permintaan yang ada di industri startup Indonesia.
Menurut Riset McKinsey, Indonesia membutuhkan 9 juta talenta digital selama periode 2015–2030. Artinya, Indonesia harus dapat melahirkan 600.000 talenta digital secara rata-rata setiap tahunnya.
Namun, dari kebutuhan tersebut, perguruan tinggi di Indonesia hanya mampu memenuhi sekitar 100.000-200.000 talenta digital, yang berarti ada gap sekitar 400.000-500.000 talenta digital.
Maka dari itu, bukan hal yang mengherankan apabila aksi saling ‘bajak’ talenta digital antarperusahaan rintisan pun marak di Indonesia. Dampaknya, sejumlah perusahaan yang melakukan aksi ‘pembajakan’ talenta digital, harus berani memberikan penawaran gaji yang tinggi.