Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan pemerintah untuk menghapus domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO), serta menerapkan batas atas harga baru untuk pengenaan pungutan ekspor (export levy) produk kelapa sawit dan turunannya dinilai akan memberatkan kinerja emiten-emiten di sektor tersebut.
Emiten perkebunan pun menyuarakan dukungan terhadap aturan baru pemerintah dan mulai menyiapkan strategi untuk menjaga margin keuntungan.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengemukakan kenaikan batas atas harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) untuk pengenaan pungutan ekspor menjadi US$1.500 per ton bakal menambah besaran tarif yang harus dibayar pelaku usaha.
Dengan batas atas US$1.000 per ton yang sebelumnya berlaku, eksportir hanya dikenai kewajiban pungutan ekspor sebesar US$175 per ton dan setelahnya tarif berlaku flat. Namun dengan batas atas baru, tarif maksimum yang harus dibayarkan eksportir mencapai US$375 per ton saat harga CPO mencapai atau melampaui US$1.500 per ton.
Lutfi mengatakan kenaikan pungutan ekspor akan menambah dana kelolaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk dialokasikan pada subsidi minyak goreng curah.