Bisnis.com, JAKARTA – Utang jumbo PT Garuda Indonesia (persero) Tbk. (GIAA) terus menjadi sorotan. Posisi keuangan yang dibalut rugi beberapa tahun terakhir, rendahnya kemampuan bayar perusahaan serta banyaknya pesawat yang harus diparkir karena pandemi Covid-19 membuat sejumlah keputusan besar dilakukan pemerintah agar maskapai satu-satunya milik negara itu dapat selamat.
Setelah penjadwalan ulang utang jumbo sukuk global senilai US$500 juta bulan lalu, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. kini kembali berjibaku dengan pelunasan pokok Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA).
Emiten berkode saham GIAA itu gagal memenuhi perjanjian dalam membayar pokok KIK EBA Mandiri GIAA01 senilai US$87,98 juta atau senilai Rp1,44 triliun. Surat utang ini mengandalkan sekuritasi pendapatan penjualan tiket penerbangan haji dan umrah pada rute Jeddah dan Madinah. Pendapatan penjulan tiket yang dijaminkan berjangka 5 tahun dengan surat utang bernilai Rp2 triliun pada 22 Juni 2018.
Garuda Indonesia memang sudah akrab dengan urusan utang jumbo dalam beberapa tahun terakhir. Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan sebelumnya menyebutkan bahwa hal ini merupakan imbas dari nihilnya penyuntikan tambahan modal untuk memperkuat perusahaan dalam beberapa tahun terakhir. Akibatnya, perseroan mengandalkan instrumen utang untuk memperkuat meningkatkan asetnya.
Menurutnya, tak heran jika akhirnya permintaan dana talangan sebesar Rp8,5 triliun dari pemerintah, akhirnya diberikan dalam bentuk obligasi wajib konversi (mandatory convertible bond/MCB). Namun, setelah persetujuan politik, hingga kini dana tersebut belum terkucur dan masih dalam tahap pembahasan dengan pemerintah.