Bisnis.com, JAKARTA — Pada masa puncak keemasan, konglomerasi bisnis Grup Bakrie, pernah punya 10 perusahaan—dengan kepemilikan mayoritas—yang namanya tercatat di Bursa Efek Indonesia, dari mulai perkebunan, pertambangan, telekomunikasi, properti, infrastruktur hingga media. Luasnya cakupan bisnis Bakrie memang tak perlu dipertanyakan lagi.
Meski demikian, cikal bakal gurita bisnis Bakrie Group ketika Achmad Bakrie mendirikan CV Bakrie & Brothers di Telukbetung pada 1942 adalah perdagangan karet, lada, dan kopi. Dari awalnya hanya sekadar berdagang, kelak Achmad Bakrie memiliki perkebunan karet sendiri dan bahkan merambah hingga kelapa sawit. Lalu kapan tepatnya, Bakrie mulai menjajal bisnis minyak sawit mentah?
Apabila publik ingat, ada satu perusahaan yang belakangan memang jarang digembar-gemborkan, namanya PT Bakrie Sumatra Plantations Tbk. (UNSP). Sempat mencicipi harga saham di level tertinggi lebih dari Rp28.000 per lembarnya pada 15 Januari 2008, kini harga saham UNSP nongkrong di level Rp52 pada Jumat (8/5/2020).
UNSP semula berkonsentrasi pada produk karet. Namun, mulai 1995, Bakrie mulai fokus pada bisnis CPO beserta turunannya, termasuk minyak goreng, barang yang hingga era 90an tak begitu lekat identitasnya pada reputasi Bakrie. Maklum, Achmad Bakrie sebelumnya memang punya minat pada bisnis hasil bumi, tetapi arahnya cenderung ke produk-produk macam kopi, karet, lada, cengkeh hingga tepung.
Sejarah Bakrie terjun ke industri CPO bukanlah sesuatu yang baru dimulai kemarin sore. Seperti dilansir arsip koran Bisnis Indonesia edisi 9 Mei 1995, tepat 15 tahun lalu hari ini, titik balik keseriusan Bakrie di sektor ini adalah kesepakatan kerja sama mereka dengan BPPT dan Mitsubisi Chemical Group.
“Kami akan mengembangkan industri pengolahan sawit hingga ke hilir, termasuk minyak goreng, oleochemical, dan stearin. [Kerja sama dengan BPPT dan Mitsubishi Chemical] itu sudah keharusan,” ujar Tanri Abeng, pria yang kala itu menjabat sebagai Presiden Direktur PT Bakrie & Brothers.