Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Fenomena Sell in May and Go Away, IHSG Rawan Tertekan setelah Lebaran?

Secara historis, pergerakan IHSG pada Mei cenderung turun tetapi tidak signifikan.
Pengunjung melintasi papan elektronik yang menampilkan pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (22/3/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pengunjung melintasi papan elektronik yang menampilkan pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (22/3/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Analis Panin Sekuritas sekaligus pendiri WH Project William Hartanto memperkirakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tidak semata-mata tertekan akibat fenomena sell in may and go away setelah libur Lebaran berakhir.

Secara historis, William menyebutkan pergerakan IHSG pada Mei cenderung turun, tetapi tidak signifikan. Data pada 2017 dan sebelumnya bahkan memperlihatkan kecenderungan bahwa IHSG bergerak naik pada bulan tersebut.

“Mei 2021 IHSG memang turun, tetapi tidak dalam. Hanya 0,8 persen dan Juni turun 0,64 persen. Namun setelahnya bergerak naik terus,” kata William dalam video yang diunggah di akun Youtube-nya, dikutip Jumat (6/5/2022).

IHSG juga sempat turun pada Mei 2019 sekitar 3,18 persen, begitu pula pada 2018. Namun, dia mencatat tren ini tidak terlihat pada 2017 dan tahun-tahun sebelumnya.

William justru memperingatkan soal potensi penurunan IHSG pada September dan November. Menurutnya, penurunan pada bulan-bulan tersebut secara historis lebih dalam daripada Mei.

“Bisa disimpulkan sell in May and go away itu berhubungan dengan IHSG naik tipis atau malah turun. Namun kalau sampai go away saya kira tidak karena masih bisa di Juni Atau Juli,” kata dia.

Dia menambahkan pergerakan IHSG pada bulan Mei 2022 akan dipengaruhi oleh sentimen tingkat inflasi dan perkembangan kebijakan suku bunga Federal Reserve atau The Fed. Inflasi yang tinggi dan suku bunga yang naik dia sebut bisa menjadi sentimen negatif.

William sebelumnya mengatakan bahwa kenaikan suku bunga AS secara historis akan diikuti dengan keluarnya dana asing. Hal ini bisa memicu pelemahan rupiah terhadap dolar AS.

“Jika efeknya ke rupiah signifikan, mungkin BI akan merespons dengan ikut menaikkan suku bunga atau intervensi perdagangan rupiah. Dalam hal rupiah melemah, yang dirugikan biasanya saham-saham dengan utang dalam dolar AS yang besar,” katanya ketika dihubungi, Kamis (5/5/2022).

Meski demikian, William mengatakan kenaikan suku bunga tak selalu berdampak negatif. Inflasi yang terjadi sebagai efek dari tingkat suku bunga dia sebut bisa menjadi momentum bagi sektor-sektor barang konsumsi.

“Pilihannya misal INDF, ICBP, dan ULTJ,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper