Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak mentah dunia ditutup variatif pada perdagangan Rabu (20/4/2022) di tengah kekhawatiran pertumbuhan ekonomi yang memengaruhi penurunan permintaan dan data yang menunjukkan penurunan tajam cadangan minyak mentah AS.
Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Mei ditutup menguat 0,19 poin atau 0,2 persen ke level US$102,75 per barel di New York Mercantile Exchange.
Di sisi lain, harga minyak mentah berjangka Brent untuk kontrak pengiriman Juni ditutup melemah 0,01 poin ke level US$107,24 per barel di London ICE Futures Exchange.
Harga minyak telah didukung oleh prospek pengetatan pasokan menyusul sanksi terhadap Rusia, yang merupakan pengekspor minyak terbesar kedua di dunia dan pemasok utama Eropa, atas serangannya ke Ukraina, yang disebut Moskow sebagai "operasi militer khusus."
“Dengan situasi perang Ukraina yang meningkat, kemungkinan durasi konflik yang diperpanjang dan potensi hilangnya pasokan Rusia ke pasar juga meningkat,” kata presiden Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch, dilansir Antara, Kamis (21/4/2022).
Sentimen juga didukung oleh data Badan Informasi Energi AS (EIA) yang menunjukkan stok minyak mentah turun 8 juta barel pekan lalu karena lonjakan ekspor ke level tertinggi dalam lebih dari dua tahun.
Baca Juga
Namun, kedua harga acuan turun sekitar 5,0 persen pada Selasa (19/4/2022) setelah Dana Moneter Internasional memangkas perkiraan pertumbuhan globalnya hampir satu poin persentase penuh, menyusul dampak ekonomi dari perang Rusia di Ukraina. IMF juga memperingatkan bahwa inflasi telah menjadi "jelas dan menghadirkan bahaya" bagi banyak negara.
"Melemahnya pertumbuhan dan meningkatnya tekanan inflasi hanya bisa berarti satu hal: momok stagflasi menggantung di atas ekonomi global," kata analis P.M, Stephen Greenock.
Berlanjutnya lockdown untuk menekan penyebaran Covid-19 di China juga telah menekan permintaan di importir minyak mentah utama dunia dan membebani harga.
Komisi Eropa kini sedang bekerja untuk mempercepat ketersediaan pasokan energi alternatif guna meminimalisir dampak dari pelarangan minyak Rusia dan membujuk Jerman dan negara-negara Uni Eropa lainnya yang enggan untuk menerima tindakan tersebut.
Sementara itu, berbagai penghentian produksi menambah kekhawatiran tentang pasokan. Anggota OPEC Libya telah dipaksa untuk menutup produksi 550.000 barel per hari karena gelombang blokade di ladang minyak utama dan terminal ekspor, kata National Oil Corporation (NOC) negara itu.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, yang dikenal secara kolektif sebagai OPEC+, memproduksi 1,45 juta barel per hari di bawah target produksinya pada Maret karena produksi Rusia mulai menurun setelah sanksi yang diberlakukan oleh Barat, sebut sebuah laporan dari aliansi produsen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel