Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Simak Strategi Schroders Indonesia Meramu Reksa Dana Kebal Geopolitik

Schroders Indonesia meyakini kinerja reksa dana masih mampu bertumbuh di tengah sentimen geopolitik Rusia dan Ukraina.
Head of Wealth Management & Client Growth Bank Commonwealth Ivan Jaya (kanan) berbincang dengan Executive Director Charta Politika Yunarto Wijaya (kiri), dan CEO Schroders Indonesia Michael Tjoajadi saat peluncuran aplikasi CommBank SmartWealth, di Jakarta, Kamis (17/1/2019)./Bisnis-Dedi Gunawan
Head of Wealth Management & Client Growth Bank Commonwealth Ivan Jaya (kanan) berbincang dengan Executive Director Charta Politika Yunarto Wijaya (kiri), dan CEO Schroders Indonesia Michael Tjoajadi saat peluncuran aplikasi CommBank SmartWealth, di Jakarta, Kamis (17/1/2019)./Bisnis-Dedi Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA – Schroders Indonesia meyakini kinerja reksa dana masih mampu bertumbuh di tengah sentimen invasi Rusia ke Ukraina.

Sejumlah strategi juga telah disiapkan guna meningkatkan kinerja produk-produk investasinya. Investment Director Schroders Indonesia Irwanti mengatakan, prospek kinerja reksa dana masih positif di tengah ketidakpastian yang tinggi.

Pada pasar saham Indonesia, arus modal asing yang telah mencapai Rp21,6 triliun secara ytd ke Indonesia menjadi salah satu katalis positif.

Irwanti mengatakan, pihaknya percaya bahwa Indonesia tetap menarik bagi investor asing karena valuasinya yang masih tertinggal, yaitu sekitar 15 kali rasio price to earning (PE) pada 2022 dibandingkan dengan negara-negara peers seperti AS dan India dan peers regional.

“Selain itu, Indonesia tetap diuntungkan oleh harga komoditas yang tinggi dan berada di jalur yang tepat dengan pemulihan ekonominya serta pelonggaran pembatasan mobilitas,” jelasnya saat dihubungi, Senin (8/3/2022).

Ia memaparkan, kasus geopolitik, terutama yang terjadi antara Rusia dan Ukraina akan menyebabkan kenaikan harga komoditas. Sebagai produsen komoditas utama Rusia, pihaknya juga melihat sejumlah harga komoditas naik seperti minyak mentah, batu bara, nikel, dan bahkan soft commodity seperti gandum.

Rusia adalah produsen batu bara termal, batu bara kokas, uranium, paladium, nikel, aluminium, dan gas yang terkenal. Sebagai negara pengekspor komoditas yang dominan, Indonesia seharusnya menjadi salah satu penerima manfaat dari kenaikan harga komoditas yang ditunjukkan oleh neraca perdagangan yang konsisten positif dalam beberapa bulan terakhir.

“Sehingga dari sisi sektor, komoditas seperti batu bara, CPO, dan pertambangan logam seperti nikel dan emas akan menjadi penerima manfaat utama,” jelas Irwanti.

Lebih lanjut, ia menambahkan, nama-nama blue chip safe-haven seperti bank besar dan telekomunikasi juga akan diuntungkan dan tetap menjadi pilihan utama bagi investor asing. Sehingga, ke depannya Schroders melihat risiko resesi pada 2022 sangat rendah.

Seiring dengan hal tersebut, Schroders akan tetap melakukan diversifikasi pada produk reksa dana berbasis sahamnya, dengan fokus pada area-area pasar yang lebih murah dimana kekhawatiran akan valuasi lebih rendah.

Sementara itu, pasar obligasi telah menghadapi tantangan terutama karena pembalikan kebijakan moneter oleh The Fed dan segera disusul Bank Indonesia. Meskipun demikian, Irwanti mengatakan pihaknya masih melihat sejumlah aliran dana masuk ke pasar obligasi sebesar Rp5,5 triliun secara ytd.

Menurutnya, dampak dari ketegangan Rusia - Ukraina terhadap pasar obligasi kemungkinan terbatas pada saat ini karena kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah telah turun menjadi sekitar 19 persen dari tingkat sebelum pandemi yang sebesar 40 persen.

Terlepas dari volatilitas dan tekanan di pasar obligasi, Schroders belum melihat depresiasi besar rupiah atau overshoot dalam imbal hasil obligasi pemerintah dalam beberapa bulan terakhir. Menurutnya, risiko terbesar bagi pasar obligasi akan tetap ada pada inflasi dan pengetatan kebijakan moneter pada saat ini.

“Dengan ketidakpastiaan di kalangan investor asing, kami menilai obligasi pemerintah bertenor pendek menjadi pilihan yang tepat melihat demand yang di dominasi oleh investor lokal,” ujarnya.

Ia menambahkan, kenaikan risiko geopolitik telah menyebabkan kenaikan harga komoditas yang akan menyebabkan resiko inflasi. Sehingga, hal ini juga memberikan tekanan terhadap US Treasury.

Kedua hal ini akan memberi dampak negatif secara langsung terhadap obligasi di jangka pendek. Sehingga, untuk saat ini Schroders melihat exposure di saham masih menarik karena adanya dampak positif dari pemulihan ekonomi pasca covid, perbaikan pendapatan dari harga komoditas, serta membaiknya daya beli dan economic multiplier effect dari kenaikan aktifitas di sektor komoditas.

“Untuk jangka panjang kami akan memperhatikan keadaan di Rusia dan Ukraina, jika situasi memburuk berkepanjangan tentunya akan berdampak terhadap pemulihan ekonomi jangka panjang sehingga obligasi akan terlihat kembali menarik,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper