Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Imbal Hasil Treasury AS Melonjak, Wall Street Loyo

Indeks S&P 500 ditutup melemah 0,28 persen ke 4.443,11, sedangkan indeks Nasdaq Composite turun 0,52 persen ke 14.969,97.
Pelaku pasar sedang memantau perdagangan di bursa New York Stock Exchange (NYSE), New York, AS, Senin (20/9/2021)./Bloomberg
Pelaku pasar sedang memantau perdagangan di bursa New York Stock Exchange (NYSE), New York, AS, Senin (20/9/2021)./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Amerika Serikat ditutup melemah pada perdagangan Senin (27/9/2021), di tengah kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS.

Berdasarkan data Bloomberg, indeks S&P 500 ditutup melemah 0,28 persen ke 4.443,11, sedangkan indeks Nasdaq Composite turun 0,52 persen ke 14.969,97. Di sisi lain, indeks Dow Jones Industrial Average menguat 0,21 persen ke 34.869,37.

Pelemahan indeks didorong oleh aksi jual saham emiten teknologi, di tengah kenaikan imbal hasil Treasury AS yang didorong sikap hawkish Federal Reserve pekan lalu.

Penurunan obligasi mengirim imbal hasil obligasi Treasury AS 10 tahun sempat melampaui 1,5 persen, level tertinggi sejak Juni 2021, sehingga menekan indeks Nasdaq yang mayoritas berisi saham teknologi.

Sementara itu, saham emiten yang sensitif terhadap ekonomi seperti energi, keuangan, dan perusahaan kecil menguat.

Pelaku pasar menaikkan ekspektasi terhadap kenaikan suku bunga acuan setelah Gubernur The Fed Jerome Powell mengatakan bank sentral dapat mulai mengurangi program pembelian pada November, sementara para pejabat memperbarui perkiraan mereka dan sebagian memperkirakan pengetatan moneter dimulai akhir 2022.

Lonjakan imbal hasil Treasury telah menambah kekhawatiran terhadap valuasi saham yang tinggi, terutama di industri teknologi, yang telah mendorong reli pasar saham.

Analis ThinkMarkets Fawad Razaqzada mengatakan kenaikan imbal hasil obligasi mencerminkan ekspektasi investor terhadap pengetatan moneter di tengah melonjaknya tekanan inflasi.

"Jika imbal hasil naik, ini bisa membebani terutama saham-saham pertumbuhan yang menguat berlebihan di sektor teknologi, yang memiliki dividen rendah," ungkap Fawad, seperti dikutip Bloomberg, Senin (27/9/2021).

Ia melanjutkan, investor mungkin lebih memilih keamanan relatif dari utang pemerintah dan pembayaran kupon tetap daripada membeli saham yang dinilai terlalu tinggi saat The Fed mulai mengurangi program stimulusnya.

Sementara itu, Pejabat The Fed Lael Brainard mengatakan pasar tenaga kerja akan segera mencapai target yang dibutuhkan untuk mengurangi pembelian aset, sementara varian delta Covid-19 dapat meningkatkan risiko inflasi.

Presiden Fed New York John Williams mencatat bahwa tapering akan segera dilakukan, dan rekannya dari Chicago Charles Evans mengatakan dia memperkirakan "langkah pertama" untuk menaikkan suku bunga pada tahun 2023.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper