Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Saham GIAA Kena ARB, Kinerja Emiten Aviasi Lain Ikut Tiarap?

Sektor bisnis penerbangan dan pendukung aviasi lainnya diprediksi masih melanjutkan tren penurunan pada tahun ini.
Pilot dan kru pesawat memberi penghormatan terakhir kepada pesawat Garuda Boeing 747-400 di Hanggar 4 GMF Aero Asia, Tangerang, Banten, Senin (9/10)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Pilot dan kru pesawat memberi penghormatan terakhir kepada pesawat Garuda Boeing 747-400 di Hanggar 4 GMF Aero Asia, Tangerang, Banten, Senin (9/10)./JIBI-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA - Setelah pemberitaan mengenai rencana restrukturisasi keuangan PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA), harga saham maskapai pelat merah tersebut menukik tajam.

Pada penutupan perdagangan hari ini, Senin (24/5/2021) saham GIAA terkena auto reject bawah (ARB), anjlok 6,96 persen atau 22 poin ke level Rp294 dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp7,61 triliun.

Sejak melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), saham emiten berkode GIAA terus menjadi sorotan. Maskapai pelat merah itu tercatat melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 11 Februari 2011 setelah menggelar penawaran saham (initial public offering/IPO) saham senilai Rp4,75 triliun.

Kala itu, saham GIAA dibanderol Rp750 per saham. Pada tahun pertama perjalanannya di pasar modal, GIAA sempat parkir pada level di bawah Rp500 per saham pada penutupan perdagangan 2011.

Beranjak dari situ, GIAA uptrend dalam 7 bulan pertama 2012. Sahamnya terbang hingga menyentuh level all time high Rp764 pada 17 Juli 2012. Sejak itu, saham BUMN itu tidak pernah lagi take off melampui harga IPO-nya.

Kejutan terhadap gerak-gerik GIAA di pasar saham kembali terjadi pada 2020. Akibat pandemi Covid-19, GIAA terjun bebas dari level harga Rp600 pada November 2019 ke level terendah sepanjang sejarah Rp150 per saham pada perdagangan 23 Maret 2020.

Pada 2020, GIAA mengemas return -19,28 persen ke level Rp402. Turbulensi berlanjut dan membawa GIAA terkoreksi 21,39 persen year to date (ytd) dan parkir ke level Rp316 per saham pada akhir perdagangan Jumat (21/5).

Lesunya laju saham GIAA terpapar oleh penurunan mobilitas masyarakat melalui angkutan udara akibat pandemi Covid-19 yang belum berujung dan berimbas terhadap kinerja keuangan Garuda Indonesia. Sejauh ini, GIAA belum merilis laporan keuangan tahunan penuh untuk 2020.

Head of Equity Trading MNC Sekuritas Medan Frankie Wijoyo Prasetio mengungkapkan untuk sektor bisnis penerbangan dan pendukung memang masih melanjutkan tren penurunan di tahun ini.

"Dimana tahun ini pun masih berada dalam bayangan pandemi Covid-19 yang membatasi mobilitas masyarakat. Hal ini turut mengurangi pergerakan penumpang penerbangan, apalagi ditambah dengan larangan mudik Lebaran kemarin," urainya kepada Bisnis, Senin (24/5/2021).

Sektor bisnis penerbangan memang merupakan sektor bisnis yang memiliki biaya operasional yang tinggi. Dengan demikian, perusahaan penerbangan memang sangat mengharapkan arus penggunaan transportasi yang tinggi. Sayangnya, tahun ini pun masih terpukul.

Untuk GIAA, dengan mengurangi jumlah armadanya sebanyak 50 persen dari 142 pesawat menjadi 70 unit yang akan beroperasi. Namun pengurangan ini tidak termasuk maskapai Citilink.

Wacana pengurangan armada pesawat yang beroperasi ini diawali dengan penawaran program pensiun dini oleh Garuda kepada karyawannya.

"Kedua kebijakan ini memang tidak salah jika dilakukan oleh GIAA untuk bertahan di masa ekonomi yang masih dalam pengaruh pandemi. Apalagi GIAA masih di bawah tekanan beban hutang yang luar biasa, ditambah dengan beban operasional dua kali lebih besar dari pendapatan pada 2020," terangnya.

Hal senada juga terjadi dengan CMPP alias PT Air Asia Indonesia Tbk. Walaupun di tahun-tahun sebelum pandemi Covid-19, CMPP masih bergelut dengan beban operasional yang menorehkan minus profit income. Alhasil kinerja sahamnya sudah mendatar semenjak 2019 sampai saat ini di level Rp184.

Sementara itu, sektor penunjang aviasi seperti GMFI, CASS dan PT Jasa Angkasa Semesta Tbk. turut terimbas. Apalagi perusahaan ini menorehkan pendapatan dari jasa pendukung penerbangan, seperti transportasi bandara, maintainance, juga katering untuk penumpang pesawat terbang.

"Untuk GMFI dan CASS yang masih melaporkan laporan keuangan kuartal III/2020, telah mencatatkan minus nett profit, dengan penurunan pendapatan hampir setengah dari tahun 2019," jelasnya.

Lebih lanjut, sektor bisnis penerbangan dan pendukung diprediksi bakal menjalani tahun yang berat lagi tahun ini.

Dengan penambahan kasus Covid-19, dan jenis varian baru yang dikabarkan lebih berbahaya, serta masalah Covid-19 yang ternyata berada diluar perkiraan untuk dapat dikatakan sudah aman. "Dimana beban operasional tetap berjalan, walaupun dengan arus penumpang penerbangan yang masih rendah," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper