Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jelang Pertemuan OPEC+, Harga Minyak Dibayangi Lonjakan Penyebaran Covid-19

Berdasarkan data Bloomberg pada Senin (26/4/2021), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) sempat menguat terpantau turun 0,31 persen pada US$61,95 per barel. Pada Jumat (23/4/2021) pekan lalu, harga minyak jenis ini menguat 1,2 persen.
Ilustrasi. Kapal tanker pengangkut minyak./Bloomberg
Ilustrasi. Kapal tanker pengangkut minyak./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak dunia terkoreksi pada perdagangan Senin (26/4/2021), jelang pertemuan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (The Organization of the Petroleum Exporting Countries) dan sekutunya atau OPEC+ pada Rabu (28/4/2021) pekan ini.

Berdasarkan data Bloomberg pada Senin (26/4/2021), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) sempat menguat terpantau turun 0,31 persen pada US$61,95 per barel. Pada Jumat (23/4/2021) pekan lalu, harga minyak jenis ini menguat 1,2 persen.

Sementara itu, minyak jenis Brent kontrak Juni 2021 terpantau turun 0,45 persen atau 0,30 persen pada posisi US$65,81 per barel.

Pemulihan ekonomi dan permintaan minyak mulai terlihat pada negara-negara seperti AS dan China selama beberapa waktu belakangan. Tren ini turut diikuti oleh beberapa indikator positif dari negara-negara di wilayah Eropa.

Meski demikian, prospek harga minyak dibayangi oleh lonjakan kasus positif virus corona yang terjadi di India dan Jepang. Hal ini berpotensi memunculkan masalah baru bagi OPEC+ yang telah mengesahkan rencana penambahan produksi minyak harian mulai Mei mendatang.

Chief Analyst Fujitomi Co., Kazuhiko Saito menyebutkan, sentimen pasar minyak terpengaruh oleh lonjakan kasus positif virus corona yang dapat memangkas permintaan minyak global.

“Investor, termasuk spekulan akhir-akhir ini telah memindahkan dananya dari minyak ke komoditas biji-bijian (grain). Hal ini disebabkan oleh volatilitas yang lebih tinggi pada harga komoditas jenis ini ketimbang minyak,” jelas Saito.

Sementara itu, Senior Market Analyst Oanda Corp., Edward Moya menyebutkan, sebelumnya pasar menunjukkan optimisme yang tinggi terkait outlook permintaan minyak yang kuat di wilayah Asia. Meski demikian, kepercayaan diri pasar mulai tergerus seiring dengan kekhawatiran terkait negara-negara seperti India dan Jepang.

“Kekhawatiran tersebut menandakan bahwa pemulihan ekonomi global tidak akan berjalan secara merata. Hal ini akan memperburuk kondisi perjalanan lintas negara,” jelasnya.

Hal senada diungkapkan oleh Andrew Lebow, Senior Partner Commodity Research Group. Menurutnya, dalam jangka pendek pasar akan menghadapi pemulihan permintaan yang tidak seimbang di dunia.

Menurutnya, ketimpangan pemulihan permintaan disebabkan oleh lonjakan kasus positif virus corona yang terjadi di India dan Jepang. Ia menuturkan, India dan Jepang merupakan dua dari lima negara utama dengan konsumsi minyak terbesar di dunia.

“Dengan gangguan yang terjadi pada India dan Jepang, pasar kini tengah mengukur pergerakan permintaan minyak global,” jelas Lebow.

Adapun pergerakan minyak saat ini mulai melambat setelah mengawali tahun 2021 dengan lonjakan yang cukup signifikan. Hal tersebut terjadi seiring dengan gelombang penyebaran virus corona terbaru yang melanda beberapa wilayah.

Meski demikian, secara year to date (YTD) harga minyak masih terpantau naik sekitar 27 persen. Sementara, selama lima hari perdagangan terakhir, harga minyak WTI dan Brent menunjukkan pelemahan masing-masing sebesar 2,30 persen dan 1,86 persen.

Di sisi lain, meski pasokan minyak harian dipastikan akan bertambah, struktur pasar minyak Brent masih menunjukkan pola backwardation yang mengindikasikan minimnya kekhawatiran pasar terkait penambahan pasokan.

Adapun, pola backwardation merupakan indikasi utama bahwa permintaan minyak menguat dan pasokannya berkurang. Pola ini menunjukkan pengiriman untuk bulan terdekat lebih mahal dibandingkan bulan-bulan mendatang.

Fluktuasi harga minyak saat ini terjadi jelang pertemuan bulanan antara negara anggota OPEC+ yang dijadwalkan berlangsung pada Rabu pekan ini. Wakil Perdana Menteri Rusia, Alexander Novak menuturkan, pertemuan bulan ini diperkirakan lebih membahas kondisi pasar minyak terkini ketimbang membicaran revisi output harian.

Novak menuturkan, apabila tidak ada hal luar biasa yang terjadi hingga waktu pertemuan, OPEC+ telah merancang strateginya untuk tiga bulan kedepan. Ia mengatakan, tugas OPEC+ adalah melihat strategi tersebut dan melakukan revisi apabila diperlukan.

“Tetapi, kemungkinan besar, pertemuan pekan ini akan lebih banyak membahas soal situasi terkini,” ujarnya dikutip dari Bloomberg.

Pada awal April lalu, OPEC bersama Rusia dan produsen sekutu lainnya sepakat untuk mengurangi pembatasan produksi sebesar 350.000 barel per hari (bph) pada Mei, 350.000 barel per hari lagi pada Juni, dan lebih lanjut 400.000 barel per hari atau lebih pada Juli.

Berdasarkan kesepakatan tersebut, pemangkasan yang diterapkan oleh OPEC+ akan sedikit di atas 6,5 juta barel per hari mulai Mei, dibandingkan dengan sedikit di bawah 7 juta barel per hari pada April.

Founder Vanda Insights, Vandana Hari memprediksi perdagangan minyak selama beberapa hari kedepan akan fluktuatif. Hal ini terjadi seiring dengan tarik-menarik antara sentimen negatif dan positif untuk harga minyak.

Hari menjelaskan, pasar minyak dunia menunjukkan optimisme seiring dengan perbaikan permintaan di AS dan Eropa. Di sisi lain, krisis penanganan virus corona di India dan Jepang berpotensi menghambat pergerakan harga minyak.

“OPEC+ kemungkinan akan mempertahankan kebijakan yang sudah disepakati. Kondisi fundamental global belum berubah secara signifikan untuk melakukan perubahan rencana,” jelasnya.

Sementara itu, Commodities Strategist Rabobank Ryan Fitzmaurice menyebutkan, koreksi harga minyak dapat ditahan seiring dengan proses distribusi vaksin virus corona yang masih berlangsung serta strategi OPEC+ yang waspada dalam penambahan produksi harian.

Selain itu, harga minyak dunia masih didukung oleh tren pelemahan dolar AS yang belakangan terjadi. Hal ini mendorong daya tarik aset komoditas seperti minyak yang diperdagangkan dengan mata uang dolar AS.

Fitzmaurice mengatakan, risiko upside untuk harga minyak dunia akan muncul pascapertemuan bulanan OPEC+ Rabu pekan ini. Ia mengatakan, investor akan berlomba-lomba masuk ke pasar komoditas untuk mengimbangi dampak pelemahan dolar AS dan melakukan lindung nilai (hedging) terhadap risiko inflasi.

“Kami telah melihat sejumlah investor yang mulai kembali pada pasar komoditas secara perlahan,” jelas Fitzmaurice dikutip dari laporannya.

Sementara itu, Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menilai prospek penguatan harga minyak masih terbuka. Hal ini salah satunya ditopang oleh tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina.

Ibrahim menjelaskan, pertikaian antara kedua negara terkait wilayah Krimea yang merupakan salah satu daerah produsen komoditas, termasuk minyak. Potensi konflik di wilayah tersebut berpotensi mengangkat harga minyak dunia

Ibrahim memprediksi harga minyak dunia akan berada pada level US$57 hingga US$66 per barel hingga akhir paruh pertama tahun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper