Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Potensi Kenaikan Harga Minyak Masih Terbuka Lebar

Prospek positif permintaan minyak diimbangi dengan kenaikan produksi OPEC+ yang akan mencapai 2 juta barel per hari pada akhir Juli mendatang.
Ilustrasi. Kapal tanker pengangkut minyak./Bloomberg
Ilustrasi. Kapal tanker pengangkut minyak./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak dunia terus terkoreksi hingga mencatatkan pekan terburuk dalam tiga minggu terakhir. Peluang kenaikan harga masih cukup terbuka kendati cenderung terbatas.

Dilansir dari Bloomberg pada Minggu (10/4/2021), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) ditutup terkoreksi 0,47 persen di level US$59,32 per barel pada akhir pekan ini. Jumlah tersebut menurun 3,5 persen sekaligus menjadi catatan mingguan terburuk sejak pertengahan Maret lalu.

Sementara itu, harga minyak Brent juga terpantau terkoreksi ke level US$62,95 per barel, atau turun 0,40 persen.

Adapun, harga minyak dunia di New York telah berada di kisaran US$60 per barel sejak pertengahan Maret seiring dengan volatilitas pasar yang menuju ke level terendah dalam sebulan terakhir.

Harga minyak dunia belum mampu keluar dari rentang perdagangan US$5 selama beberapa pekan terakhir dan bergerak fluktuatif dalam rentang yang semakin sempit. Tren tersebut membentuk pola teknikal yang mengindikasikan potensi terjadinya kenaikan harga.

Setelah Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (The Organization of the Petroleum Exporting Countries) dan sekutunya atau OPEC+ menambah output produksi harian, perhatian pasar kini tertuju pada prospek pemulihan permintaan.

Fokus pelaku pasar terutama mengarah pada penyerapan output tambahan dari OPEC+ dari permulihan ekonomi global. 

Meski konsumsi minyak mengalami kenaikan di India dan AS, lonjakan kasus virus Corona di wilayah Eropa berpotensi menghambat perbaikan lebih lanjut.

Di Inggris, pemerintah setempat tengah membahas kemungkinan penundaan pembukaan perjalanan lintas negara melebihi 17 Mei. Hal tersebut membuat harga minyak mendingin pada awal pekan ini.

Senior Market Analyst Oanda Corp., Edward Moya mengatakan, kondisi penyebaran virus corona saat ini cenderung buruk, terutama di wilayah Eropa dan negara-negara emerging market. Sentimen ini berimbas pada tertekannya outlook harga minyak.

Selain itu, koreksi harga minyak juga disebabkan oleh reli dolar AS yang masih berlangsung. Kenaikan dolar AS mengurangi daya tarik komoditas seperti minyak yang menjadi lawan dari mata uang greenback.

Di sisi lain, kenaikan harga produsen AS yang berada diatas ekspektasi sebelumnya juga memicu kekhawatiran akan naikknya inflasi.

“Apabila potensi kenaikan inflasi semakin tinggi, maka tingkat imbal hasil obligasi AS (US Treasury) juga akan menanjak. Hal ini akan berefek negatif bagi harga minyak,” jelasnya dikutip dari Bloomberg pada Minggu (11/4/2021).

Secara terpisah, Founder Traderindo.com Wahyu Laksono mengatakan, pelemahan harga minyak dunia saat ini terbilang wajar. Menurutnya, penurunan ini terjadi setelah harga minyak sempat menembus level tertinggi tahunan di US$63,80 per barel.

“Harga minyak memang biasanya terkoreksi jelang dan setelah pertemuan OPEC+,” jelasnya saat dihubungi pekan ini.

Selain itu, penurunan harga minyak juga dipicu oleh tren penguatan dolar AS yang masih terjadi hingga kini. Hal ini juga ditambah dengan kondisi pasar yang masih mengkhawatirkan potensi kenaikan inflasi.

Dia memaparkan, lonjakan imbal hasil obligasi AS atau US Treasury juga diprediksi akan menekan bank sentral AS (The Fed) sehingga mengancam reflationary trade dan akan membebani harga komoditas, termasuk harga minyak.

Menurutnya, sepanjang semester I/2021 ini, harga minyak masih akan bergantung pada kebijakan moneter yang akan diambil oleh The Fed. Dia menjelaskan kebijakan dari The Fed akan menentukan arah pergerakan dolar AS yang akan turut berimbas pada harga komoditas.

“Selama masih ada keyakinan pasar terhadap munculnya super cycle, maka outlook bullish minyak akan tetap berjalan,” jelasnya.

Wahyu memprediksi harga minyak akan bergerak di rentang US$40 hingga US$70 per barel sepanjang semester I/2021.

Sementara itu, Presiden Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch mengatakan prospek positif permintaan minyak diimbangi dengan kenaikan produksi OPEC+ yang akan mencapai 2 juta barel per hari pada akhir Juli mendatang.

Chief Global Market Strategist di Axi, Stephen Innes mengatakan,koreksi harga minyak disebabkan oleh tarik menarik sentimen antara penambahan output dari OPEC+ dengan lonjakan penyebaran virus  Corona di dunia.

Innes melanjutkan, hal ini juga ditambah dengan laporan kemajuan vaksinasi di Inggris yang memicu kenaikan frekuensi terjadinya gumpalan darah pascavaksinasi yang menekan sentimen bullish untuk minyak.

Harga minyak dunia kemungkinan akan berada di kisaran US$60 hingga US$70 per barel seiring dengan sikap investor yang mencerna katalis-katalis tersebut,” jelas Innes dalam risetnya.

Hal serupa diungkapkan oleh Partner di Again Capital LLC, John Kilduff. Menurutnya, pergerakan minyak yang sideways disebabkan oleh tarik menarik antara sentimen progres vaksinasi, kenaikan kuota produksi dan kebijakan lockdown baru pada sejumlah negara.

Lebih lanjut, Arab Saudi tetap percaya diri bahwa OPEC+ telah mengambil langkah yang tepat dalam menambah kuota produksi harian. Pemerintah Arab Saudi juga meyakini bahwa perbaikan permintaan minyak kedepannya akan semakin baik.

Tingkat permintaan India terhadap produk minyak pada Maret 2021 melonjak ke level tertingginya sejak akhir 2019. Sementara itu, tingkat lalu lintas di AS menunjukkan kenaikan pada beberapa kota, mengindikasikan penguatan permintaan pada musim panas ini.

Pada pertemuan Kamis (1/4/2021) lalu, OPEC bersama Rusia dan produsen sekutu lainnya sepakat untuk mengurangi pembatasan produksi sebesar 350.000 barel per hari (bph) pada Mei, 350.000 barel per hari lagi pada Juni, dan lebih lanjut 400.000 barel per hari atau lebih pada Juli.

Berdasarkan kesepakatan tersebut, pemangkasan yang diterapkan oleh OPEC+ akan sedikit di atas 6,5 juta barel per hari mulai Mei, dibandingkan dengan sedikit di bawah 7 juta barel per hari pada April.

Meski demikian, harga minyak juga dibayangi potensi bertambahnya output minyak dari Iran. Saat ini, AS dan Iran tengah melakukan perundingan untuk memberlakukan kembali perjanjian nuklir tahun 2015.

Direktur Tradition Energy, Gary Cunningham menyebutkan, harga minyak saat ini berada dalam rentang yang rendah bila dikaitkan dengan kekhawatiran terhadap pemulihan ekonomi.

Harga minyak tidak akan menguat signifikan dalam jangka pendek sebelum adanya kenaikan permintaan terhadap bahan bakar pesawat, pemulihan permintaan di wilayah Asia, serta berkurangnya pembatasan di wilayah Eropa,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper