Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Imbal Hasil SUN Domestik Masih Berpotensi Menguat pada 2021, Ini Alasannya!

Pada paruh kedua tahun 2021 pergerakan yield SUN Indonesia masih berpeluang menguat. Hal ini didukung oleh tren kebijakan suku bunga rendah yang dilakukan Bank Indonesia selama tahun ini.
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo

Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah sentimen negatif memicu pelemahan imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) Indonesia mendekati kisaran 7 persen. Namun demikian, tren suku bunga rendah dan memudarnya reli yield obligasi AS diyakini dapat mengembalikan yield obligasi negara dibawah 6 persen.

Data dari laman World Government Bonds pada Senin (29/3/2021) mencatat, tingkat imbal hasil (yied) Surat Utang Negara (SUN) Indonesia seri acuan 10 tahun berada di kisaran 6,825 persen. Dalam sebulan terakhir, pergerakan yield SUN Indonesia terpantau melemah 14,9 basis poin.

Head of Economics Research Pefindo Fikri C. Permana memaparkan, salah satu sentimen utama melemahnya yield SUN Indonesia adalah tren kenaikan yield obligasi AS atau US Treasury yang masih berlanjut. Hal tersebut membuat pelaku pasar cenderung menaruh dananya pada pasar AS yang lebih menjanjikan.

“Lebih dari itu, pelaku pasar juga akan memperhatikan potensi terjadinya taper tantrum seperti pada 2013 lalu,” katanya saat dihubungi pada Senin (29/3/2021).

Selain itu, risiko penyebaran virus corona yang kembali menyeruak di Eropa membuat sejumlah negara kembali memberlakukan lockdown. Hal ini dinilai berimbas negatif bagi imbal hasil obligasi negara-negara emerging market seperti Indonesia.

Sementara itu, sentimen dari dalam negeri juga masih menekan pergerakan imbal hasil surat utang domestik. Hal ini salah satunya disebabkan oleh perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro hingga 5 April mendatang.

Fikri melanjutkan, larangan mudik yang diumumkan pemerintah pada pekan lalu akan menahan laju konsumsi dalam negeri. Tertekannya konsumsi dalam negeri disebabkan oleh transfer uang ke daerah yang terbatas seiring dengan minimnya perpindahan masyarakat dari kota-kota besar ke daerah.

Hal tersebut akan berimbas pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi domestik pada kuartal II/2021 mendatang. Pasalnya, penerimaan negara dari sektor pajak, terutama dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan semakin berkurang.

Dengan konsumsi yang tertahan, ia mengatakan penerimaan negara juga akan ikut terimbas secara negatif. Akibatnya, risiko fiskal negara juga akan semakin tinggi seiring dengan daya bayar pemerintah yang menurun

“Potensi ini menimbulkan kehawatiran dari pelaku pasar dan membuat para investor cenderung memilih untuk masuk ke obligasi Indonesia melalui pasar sekunder,” kata Fikri.

Di sisi lain, tren pergerakan rupiah yang cukup stabil dinilai akan mampu memberikan sentimen yang positif bagi imbal hasil obligasi Indonesia. Menurutnya, hingga semester I/2021 mendatang, yield SUN Indonesia akan berada di kisaran 6,5 persen hingga 7 persen.

Sementara itu, Fikri mengatakan pada paruh kedua tahun 2021 pergerakan yield SUN Indonesia masih berpeluang menguat. Hal ini didukung oleh tren kebijakan suku bunga rendah yang dilakukan Bank Indonesia selama tahun ini.

“Kebijakan burden sharing BI dengan instansi terkait serta inflasi yang terjaga sepanjang tahun ini juga membuat pasar obligasi Indonesia masih menarik hingga akhir tahun ini,” lanjutnya.

Selain itu, tren kenaikan imbal hasil US Treasury juga diprediksi tidak akan seperti taper tantrum pada 2013 lalu. Hal tersebut disebabkan oleh prospek konsumsi masyarakat AS yang belum akan tumbuh dan membuat laju inflasi terjaga.

Ia memaparkan, lonjakan yield US Treasury pada 2013 lalu didorong oleh tingginya inflasi menyusul konsumsi masyarakat Negeri Paman Sam yang tinggi. Dengan konsumsi yang belum tumbuh signifikan, kekhawatiran ini dapat ditunda hingga setidaknya 2 tahun ke depan.

Fikri menuturkan, setelah melesat pada awal tahun ini, imbal hasil US Treasury kemungkinan akan kembali turun ke kisaran 1,2 persen hingga 1,3 persen pada akhir 2021. Hal tersebut akan berdampak positif pada pergerakan yield SUN Indonesia.

“Melihat sentimen-sentimen yang ada, peluang yield SUN Indonesia di kisaran 5,5 persen hingga 6 persen pada akhir tahun ini masih cukup terbuka,” pungkasnya.

Sementara itu, Macroeconomic Analyst Bank Danamon Irman Faiz menunjukkan imbal hasil obligasi Indonesia saat ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara berkembang lainnya seperti India, Filipina, dan Malaysia. Hal itu tercermin dari posisi spread yield SUN 10 tahun dengan Treasury AS dan disesuaikan dengan premi risiko menggunakan CDS 5 tahun.

“Kami melihat peluang pada pasar obligasi masih ada dengan kisaran yield 6,5 persen—7 persen untuk SUN tenor 10 tahun pada akhir 2021,” kata Faiz.

Faiz juga percaya bahwa kebijakan Bank Sentral AS (Federal Reserve) belum akan berubah dalam waktu dekat sebelum indikator pemulihan ekonomi di Negeri Paman Sam benar-benar solid.

Adapun, kekhawatiran tapering off oleh The Fed ketika perekonomian kembali tumbuh dan inflasi meningkat telah melambungkan imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun atau Treasury AS.

Pelaku pasar khawatir, setelah stimulus jumbo dikeluarkan senilai US$1,9 triliun di AS maka perekonomian bakal bergeliat dan akhirnya suku bunga akan dikembalikan ke level normal. Hal itu pun bakal membuat imbal hasil Treasury AS menjadi lebih menarik sehingga terjadi realokasi aset dari negara berkembang menuju negara maju.

“Dalam beberapa kesempatan, Bank Sentral AS sudah menyampaikan bahwa hal tersebut [tapering off] belum akan terjadi dan stance kebijakan moneter Bank Sentral AS masih akan akomodatif hingga indikator pemulihan ekonomi benar-benar solid,” jelas Faiz.

Dari dalam negeri, Faiz menilai tenaga perbankan masih ada untuk menyerap penawaran SUN namun tidak akan sekuat seperti 2020. Pasalnya, apabila pemulihan ekonomi terjadi pada semester II/2021 maka permintaan kredit bakal kembali bergeliat.

Selanjutnya permintaan kredit akan membentuk penciptaan uang di pasar dan mendorong tingkat Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan.

Faiz memperkirakan tahun ini perbankan hanya mampu menyerap sekitar Rp263 triliun dari total penerbitan SUN oleh pemerintah dengan syarat kredit tumbuh pada kisaran 4 persen-5 persen dari 2019.

“Faktor selain permintaan kredit yang juga akan memengaruhi kapasitas perbankan untuk menyerap obligasi tahun ini adalah kebijakan makroprudensial dari Bank Indonesia yang tentunya akan mempengaruhi likuiditas dalam sistem perbankan,” tutur Faiz.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper