Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Potensi Kenaikan Harga Tembaga Masih Terbuka Lebar

Pada penutupan perdagangan Jumat (26/3/2021), harga tembaga ditutup pada posisi US$8.962 per metrik ton, atau naik 2,08 persen di London Metal Exchange (LME).
Tembaga./Bloomberg
Tembaga./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Harga tembaga tengah mengalami fase koreksi selama sebulan terakhir seiring dengan prospek penurunan permintaan dari China dan kenaikan dolar AS serta imbal hasil US Treasury.

Kendati demikian, prospek pergerakan harga dalam jangka panjang diyakini akan tetap bullish seiring dengan defisit pasokan yang akan terjadi selama beberapa tahun ke depan.

Berdasarkan data Bloomberg, Minggu (28/3/2021), pada penutupan perdagangan Jumat (26/3/2021), harga tembaga ditutup pada posisi US$8.962 per metrik ton, atau naik 2,08 persen di London Metal Exchange (LME).

Meski demikian, selama 5 hari perdagangan terakhir, harga tembaga masih terkoreksi sebesar 1,05 persen. Sedangkan, selama 1 bulan terakhir, harga komoditas ini turun 1,27 persen.

Pelemahan harga tembaga juga tercermin dari posisi contango pada kontrak tembaga. Posisi tersebut adalah keadaan dimana pelaku mendapat diskon apabila membeli tembaga pada pasar spot dibandingkan kontrak berjangka.

Kondisi tersebut juga mengindikasikan melunaknya keterbatasan pasokan. Hingga kini, jumlah persediaan tembaga global telah melesat 80 persen dari posisi terendahnya dalam satu dekade pada bulan lalu.

Padahal, harga tembaga sempat menyentuh level tertingginya sejak 2011 pada awal Maret menyusul prospek pemulihan ekonomi global yang positif. Tren tersebut kemudian terhapus seiring dengan kenaikan imbal hasil obligasi AS atau US Treasury.

Di sisi lain, Penyebaran virus Corona yang kembali meningkat di Eropa membuat sejumlah negara kembali memberlakukan kebijakan lockdown. Prospek penurunan jumlah stimulus dari China juga menekan harga tembaga selama beberapa waktu belakangan.

Senior Commodities Strategist di ING Bank Wenyu Yao mengatakan, tren penguatan dolar AS yang tengah terjadi semakin menghambat pergerakan harga tembaga.

"Pola harga backwardation pada tembaga di LME juga telah hilang ditengah kenaikan jumlah persediaan. Hal ini tidak membantu tren harga tembaga yang positif," jelasnya dikutip dari Bloomberg.

Sementara itu, Analis Marex Spectron Alastair Munro menyebutkan, selain kenaikan dolar AS, koreksi harga tembaga juga disebabkan oleh penurunan total pesanan barang tahan lama (durable goods) dari AS.

Laporan dari Kementerian Perdagangan AS menyebutkan, jumlah pesanan durable goods pada Februari 2021 turun 1,1 persen dibandingkan dengan bulan lalu. Koreksi ini merupakan yang pertama sejak April 2020 lalu.

Berkurangnya pesanan mengindikasikan terhentinya rebound industri manufaktur Negeri Paman Sam. Adapun, durable goods merupakan barang yang umumnya dapat bertahan selama minimal tiga tahun.

"Tetapi, alasan utama tren koreksi harga saat ini adalah minimnya minat China dalam membeli tembaga," ungkap Munro.

Hal senada diungkapkan Head of Commodity Strategy di Saxo Bank, Ole Hansen. 

Dia mengatakan prospek penurunan permintaan dari China dan penguatan dolar AS menyebabkan terjadinya penurunan selera pasar untuk masuk ke aset komoditas, termasuk tembaga.

"Koreksi yang saat ini terjadi masih dalam level yang wajar, bahkan cenderung terlambat terjadi," ujarnya.

Hansen mengatakan, apabila harga tembaga melanjutkan tren negatifnya, hal tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kesehatan ekonomi global mengalami penurunan. 

Menurutnya, tembaga merupakan salah satu komoditas dengan outlook yang sangat kuat. Hal ini juga ditopang oleh faktor fundamental yang masih suportif terhadap harga tembaga.

Di sisi lain, Analis Bloomberg Intelligence Andrew Cosgrove mengatakan prospek harga tembaga ke depannya masih cukup baik. Hal ini seiring dengan sejumlah indikator positif pada pasar tembaga fisik.

"Harga tembaga telah melesat tajam dan dalam waktu yang cepat. Konsolidasi harga memang diperlukan agar pergerakan bullish kedepannya dapat berlanjut," jelas Cosgrove dikutip dari laporannya.

Sementara itu, Analis Goldman Sachs Nicholas Snowdon dan Jeffrey Currie mengatakan, outlook fundamental tembaga dalam jangka panjang akan tetap bullish.

Dalam laporannya Snowdon dan Currie menjelaskan, risiko kelangkaan tembaga dalam beberapa bulan kedepan akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh defisit pasokan tembaga terbesar yang akan terjadi dalam 1 dekade terakhir.

Fundamental outlook tembaga masih sangat bullish seiring dengan minimnya indikator bahwa level harga saat ini dapat membalikkan keadaan posisi di pasar spot dan tren keterbatasan tembaga,” jelasnya dalam laporan tersebut.

Goldman Sachs memprediksi defisit tembaga global pada tahun ini adalah sebesar 327.000 ton. Hal ini kemudian akan diikuti oleh fase defisit pasokan yang terbuka seiring dengan puncak output tembaga pada 2023/2024 jelang rekor defisit pasokan tembaga terbesar dalam 10 tahun terakhir.

Seiring dengan hal tersebut, Goldman Sachs meningkatkan target harga tembaga menjadi US$9.200 per metrik ton dalam 3 bulan, US$9.800 per metrik ton pada 6 bulan, dan US$10.500 per metrik ton untuk periode 12 bulan.

Proyeksi tersebut lebih tinggi dibandingkan angka yang dikeluarkan sebelumnya dengan perkiraan harga tembaga dalam periode 3 bulan di level US$8.500 per metrik ton, 6 bulan sebesar US$9.000 per metrik ton dan 12 bulan di kisaran US$10.500 per metrik ton.

Sementara itu, analis Jefferies Christopher LaFemina mengatakan, jumlah pasokan tembaga dari tambang yang ada saat ini akan menurun sebesar 20 persen dalam 10 tahun kedepan seiring dengan penurunan kualitas hasil tambang dan pertumbuhan permintaan.

LaFemina menjelaskan, pertumbuhan pasokan dari proyek-proyek serta pengembangan teknologi terbaru tidak akan cukup untuk mengimbangi penurunan output dari tambang-tambang tembaga. 

Dia memprediksi total produksi tembaga dari seluruh tambang di dunia akan turun sebesar 5 juta metrik ton per tahunnya.

“Jumlah produksi tahun ini juga akan menurun seiring dengan biaya operasi tambang yang tinggi dan tidak berkelanjutan,” jelas LaFemina dalam risetnya.

Chief Executive Trafigura Group, Jeremy Weir mengatakan, defisit pasokan tembaga akan segera terjadi bila tidak ada tambang baru yang beroperasi dalam beberapa waktu ke depan. 

Di sisi lain, tingkat pertumbuhan permintaan komoditas ini terus melonjak seiring dengan perkembangan industri kendaraan listrik, pembangunan infrastruktur, dan perkembangan dari emerging market.

“Siklus harga tembaga saat ini merupakan reli yang berkepanjangan dan perusahaan akan membutuhkan ini untuk menjadi insentif dalam pengembangan tambang baru,” katanya dalam Fastmarkets Copper Seminar.

Weir melanjutkan, pasar global akan membutuhkan pasokan tembaga tambahan sebanyak 10 juta ton guna mencegah terjadinya defisit pasokan pada 2030.

Sementara itu, Analis UBS Group AG, Dominic Schnider dan Wayne Gordon dalam laporannya memperkirakan harga tembaga akan rebound dan mencapai level US$9.500 per metrik ton pada pertengahan tahun 2021. Salah satu pendukung kenaikan harga adalah defisit persediaan tembaga yang akan terjadi pada tahun ini.

UBS memperkirakan, defisit persediaan tembaga pada 2021 adalah sebesar 469.000 ton, atau 2 persen dari total permintaan tahunan. Berkurangnya persediaan akan berimbas pada lonjakan harga tembaga.

“Penurunan persediaan juga ditambah dengan naiknya permintaan tembaga global seiring dengan usaha negara-negara mempercepat upaya pengurangan emisi karbon, terutama di sektor manufaktur,” demikian kutipan laporan tersebut.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper