Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga CPO Tinggi Bisa Jadi Pisau Bermata Dua, Ini Alasannya

Kenaikan harga CPO yang terjadi sejak akhir 2020 dan berlanjut hingga saat ini tidak sepenuhnya dapat dinikmati pelaku usaha.
Pekerja memanen kelapa sawit di Desa Rangkasbitung Timur, Lebak, Banten, Selasa (22/9/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas
Pekerja memanen kelapa sawit di Desa Rangkasbitung Timur, Lebak, Banten, Selasa (22/9/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Bisnis.com, JAKARTA - Kenaikan harga minyak sawit atau crude palm oil/CPO diyakini dapat menjadi pisau bermata dua bagi pelaku usaha. Kebijakan terbaru terkait pungutan dan bea ekspor yang menjadi progresif menjadi salah satu alasannya.

Direktur Utama Astra Agro Lestari Santosa mengatakan bahwa kenaikan harga CPO yang terjadi sejak akhir 2020 dan berlanjut hingga saat ini tidak sepenuhnya dapat dinikmati pelaku usaha.

“Tingginya harga harus dicermati betul mengingat sekarang kan berbeda dengan tahun lalu karena adanya perubahan pungutan ekspor yang progresif. Tingginya harga saat ini juga ada dampak berganda karen bea keluaran juga jadi sangat tinggi,” ujar Santosa kepada Bisnis, Rabu (25/2/2021).

Oleh karena itu, perseroan juga akan tetap wait and see dan cenderung hati-hati pada tahun ini mengingat kondisi pasar masih banyak ketidakpastian akibat pandemi Covid-19.

Pasalnya, papar Santoso, kinerja perseroan sangat bergantung terhadap cuaca dan dinamika pasar sesuai dengan pasokan dan permintaan.

Sementara itu, SVP Communications and Public Affair Astra Agro Lestari Tofan Mahdi mengatakan bahwa harga CPO yang tinggi tentu akan membantu pemerintah dalam meraih devisa negara dari ekspor minyak sawit.

Pada 2020, misalnya, sumbangan devisa sawit mencapai US$22,9 miliar secara nasional.

“Namun, harga CPO yang tidak semuanya dinikmati oleh pelaku usaha karena adanya pungutan ekspor yang progresif dan bea keluar. Dengan harga hari ini misalnya yang sekitar US$1.000 per ton, pungutan sekitar sudah US$255 dan sekitar US$93 untuk bea keluar atau pajak ekspor,” papar Tofan kepada Bisnis.

Adapun, berdasarkan laporan keuangan perseroan, emiten bersandi saham AALI itu membukukan laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik perusahaan sebesar Rp833,09 miliar pada 2020.

Realisasi itu tumbuh 294,61 persen dibandingkan dengan perolehan laba 2019 yang hanya sebesar Rp211,1 miliar.

Kenaikan laba tersebut didukung pertumbuhan pendapatan menjadi Rp18,8 triliun, tumbuh 7,76 persen daripada pendapatan 2019 sebesar Rp17,45 triliun.

Dia menjelaskan bahwa pertumbuhan kinerja perseroan tahun lalu banyak ditopang kenaikan harga CPO.

AALI mencatat harga jual rata-rata CPO perseroan naik 27,8 persen pada 2020 di kisaran Rp8.548 per kilogram, dibandingkan dengan harga jual 2019 sebesar Rp6.689 per kilogram.

“Terlepas dari hal itu, secara umum kami siap pada harga berapa pun, tetapi kami tetap berharap harga CPO akan berada pada level yang kondusif dan mendukung profitabilitas dan pertumbuhan usaha,” ujar Tofan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper