Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Cuaca Ekstrim dan Tensi Timur Tengah Kembali Didihkan Harga Minyak

Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) sempat naik hingga 2,2 persen ke level US$60,78 per barel di New York Mercantile Exchange. Catatan harga ini merupakan level tertinggi dalam 13 bulan terakhir.
Tempat penyimpanan minyak di Pelabuhan Richmond in Richmond, California/ Bloomberg - David Paul Morris
Tempat penyimpanan minyak di Pelabuhan Richmond in Richmond, California/ Bloomberg - David Paul Morris

Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak dunia menembus US$60 per barel seiring dengan cuaca dingin di AS yang berpotensi menekan pasokan global serta memanasnya tensi geopolitik di Timur Tengah.

Dilansir dari Bloomberg pada Senin (15/2/2021), Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) sempat naik hingga 2,2 persen ke level US$60,78 per barel di New York Mercantile Exchange. Catatan harga ini merupakan level tertinggi dalam 13 bulan terakhir.

Sementara itu, harga minyak Brent untuk kontrak April 2021 juga naik hingga 1,14 poin atau 1,83 persen ke posisi US$63,25 di ICE Futures Europe.

Harga minyak berjangka di New York telah naik 16 persen sejak awal Februari, sementara harga minyak Brent telah menguat selama empat pekan beruntun. Tren positif tersebut didukung oleh progres vaksin virus Corona yang terus didistribusikan ke seluruh dunia.

Salah satu sentimen yang mengerek naik harga minyak adalah potensi terhambatnya pasokan minyak dari AS. Pelaku pasar memperkirakan ratusan ribu barel minyak mentah akan tertahan di Texas karena penghentian kegiatan operasi pada sejumlah kilang minyak.

Hambatan tersebut disebabkan oleh cuaca dingin ekstrim yang dialami sejumlah wilayah di AS, termasuk Texas. Cuaca dingin tersebut telah mengakibatkan kerusakan pada sejumlah peralatan pengeboran minyak dan gas.

Adapun, data dari Badan Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat (US Energy Information Administration/EIA) pada November 2020 mencatat, negara bagian Texas memproduksi sebanyak 4,65 juta barel minyak per hari

Lebih lanjut, kondisi cuaca ekstrim itu juga mengancam ekspor minyak dari AS ditengah kembalinya jumlah cadangan minyak ke level normal. Kembalinya jumlah cadangan minyak tersebut terjadi berkat usaha Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries/OPEC+) yang mengurangi jumlah produksi minyak harian.

Sementara itu, upaya Arab Saudi untuk meningkatkan pembatasan produksi minyak hariannya turut membantu pengurangan jumlah cadangan minyak dunia ditengah pemulihan permintaan.  Hal tersebut berujung pada reli harga minyak yang berkelanjutan.

Di sisi lain, tingkat permintaan minyak di AS juga mulai pulih dan mengejar level permintaan di Asia. Hal tersebut terlihat dari kenaikan angka pemrosesan minyak yang tertinggi sejak Maret lalu pada pabrik pemurnian di AS.

Kenaikan angka pemrosesan tersebut mengindikasikan pemulihan permintaan minyak domestik AS yang sebelumnya terus diekspor ke wilayah Asia. Harga per kargo untuk minyak untuk jenis WTI juga telah naik setidaknya 50 persen per barel dibandingkan bulan sebelumnya.

Founder Vanda Insights, Vandana Hari mengatakan, sentimen cuaca dingin di AS, pembicaraan paket stimulus, serta pemangkasan produksi dari Arab Saudi membantu kelanjutan reli harga minyak hingga menembus US$60 per barel.

“Tetapi, faktor terbesar yang diragukan dampaknya oleh para pelaku pasar adalah menurunnya ancaman virus corona di tingkat global. Hingga saat ini, angka kasus positif virus Corona telah menurun selama lebih dari empat pekan,” katanya dikutip dari Bloomberg.

Sementara itu, Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, reli harga minyak dunia didukung oleh tensi geopolitik di Timur Tengah yang kembali memanas. Hal tersebut menyusul aksi Arab Saudi yang menembak jatuh pesawat tanpa awak (drone) milik kelompok Houthi yang diduga ditujukan ke Arab Saudi.

Dia mengatakan, kelompok Houthi di Yaman didukung oleh negara tetangga Arab Saudi, Iran, yang juga merupakan salah satu produsen minyak dunia. Hal tersebut berimbas pada kenaikan harga minyak yang menembus level US$60 per barel.

Ibrahim melanjutkan, harga minyak berpotensi kembali terkoreksi setelah mencapai harga tertingginya saat ini. Meski demikian, koreksi harga dinilai tidak akan signifikan seiring dengan kebijakan pembatasan produksi minyak yang dilakukan OPEC+.

“Untuk kuartal I/2021 range harga minyak kemungkinan berada di US$58 hingga US$62 per barel,” tuturnya saat dihubungi pada Senin (15/2/2021).

Hal senada diungkapkan oleh analis Fujitomi Co. Kazuhiko Saito. Menurutnya, selain memanasnya hubungan politik Arab Saudi dengan Iran, kenaikan harga juga ditopang oleh prospek kemunculan paket stimulus jumbo dari Amerika Serikat.

Presiden AS Joe Biden akan mendorong pencapaian kebijakan legislatifnya pada Jumat pekan ini  untuk mengesahkan paket stimulus senilai US$1,9 triliun.

Kemunculan paket stimulus dari AS juga ditambah dengan pelonggaran lockdown yang terjadi pada sejumlah negara di dunia. Hal ini akan memicu pemulihan ekonomi serta permintaan terhadap bahan bakar. 

"Meski demikian, para investor kemungkinan akan melakukan profit taking saat harga minyak menyentuh level kunci US$60 per barel," jelasnya. 

Di sisi lain, analis komoditas Rakuten Securities Satoru Yoshida menambahkan, penguatan harga minyak turut didukung oleh kondisi pasar saham global yang positif. Hal tersebut ikut mendorong selera investor untuk masuk ke aset-aset berisiko.

Yoshida melanjutkan, peluang kenaikan harga minyak lebih lanjut masih cukup terbuka. Hal tersebut seiring dengan tingginya tingkat likuiditas di tengah tren suku bunga rendah di dunia dan proses distribusi vaksin virus Corona.

Sentimen tersebut juga ditambah dengan kebijakan pengurangan pasokan minyak dunia dari OPEC+ dan produsen minyak serpih (shale) di AS yang masih berlanjut.

“Dengan banyaknya sentimen positif ini, harga minyak mentah berpeluang menembus level US$70 per barel,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Perdana Menteri Rusia, Alexander Novak mengatakan, kondisi pasar minyak dunia saat ini telah stabil setelah pandemi virus corona sempat membuat harga minyak anjlok sepanjang 2020 lalu.

“Selama beberapa bulan terakhir, kami melihat tingkat volatilitas yang rendah untuk harga minyak. Hal ini berarti kondisi pasar sudah mulai stabil dan harga minyak yang kami lihat saat ini telah sesuai dengan kondisi yang ada di pasar,” katanya.

Ke depannya, Novak memprediksi harga minyak akan bergerak di kisaran US$45 hingga US$60 pada tahun 2021. Rusia telah menambah kuota produksi minyak sebesar 125 ribu barel per hari pada Januari lalu dan akan kembali meningkatkannya sebesar 65 ribu barel pada Februari dan Maret mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper