Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Waduh! Tingginya Harga CPO Ternyata Bisa Berefek Negatif

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga berpendapat harga yang terlampau tinggi bisa menggerus daya saing CPO di antara minyak nabati lainnya.
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Badan Litbang Kementerian ESDM memulai kajian kelayakan pemanfaatan minyak nabati murni (crude palm oil/CPO) untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) hingga Desember 2020. Bisnis/Arief Hermawan P
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Badan Litbang Kementerian ESDM memulai kajian kelayakan pemanfaatan minyak nabati murni (crude palm oil/CPO) untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) hingga Desember 2020. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak sawit (CPO) yang terlampau tinggi dipandang bisa menjadi bumerang dan berdampak negatif bagi industri komoditas tersebut di Tanah Air.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga berpendapat harga yang terlampau tinggi bisa menggerus daya saing CPO di antara minyak nabati lainnya. Sebagaimana diketahui, CPO memegang pangsa minyak nabati terbesar dengan harga yang termurah.

“Memang harga sawit tinggi ini dinikmati petani dan industri dalam negeri, tetapi saya pribadi menilai bisa jadi bumerang. Harga tinggi tidak boleh dipertahankan karena bisa menggerus daya saing di pasar global,” ujar Sahat dalam webinar, Rabu (9/12/2020).

Dia mencatat pasar CPO telah mencapai 33 persen dari total kebutuhan minyak nabati yang disusul oleh minyak kedelai sebesar 25 persen dan minyak biji rapa 12 persen.

Guna memastikan harga berada pada posisi stabil, dia mengatakan Indonesia sebagai produsen utama harus bisa menjaga pasokan CPO ke pasar global dengan volume yang ideal. Hal ini bisa dicapai dengan mengoptimalisasi konsumsi domestik.

“Untuk strategi jangka panjang yang paling bagus adalah meningkatkan konsumsi domestik mencapai 60 persen dari total produksi dan ekspor 40 persen, sehingga kita bisa menjadi price leader,” imbuhnya.

Porsi pasar ekspor sendiri masih mendominasi serapan produksi CPO Indonesia. Sahat memperkirakan volumenya mencapai 65 persen dari total produksi. Kondisi ini dinilainya tidak ideal dan membuat harga CPO tidak stabil karena pasokannya besar.

Di sisi lain, Sahat pun mengatakan bahwa konsumsi minyak sawit dalam negeri akan meningkat pada 2021 memperkirakan konsumsi minyak sawit akan meningkat 14 persen dari 17,29 juta ton pada 2020 menjadi 19,75 juta ton pada 2021.

Peningkatan konsumsi domestik sendiri bakal didorong oleh kenaikan kebutuhan sawit untuk pangan dan produk oleokimia yang masing-masing akan tumbuh 6 dan 25 persen.

Berlanjutnya mandatori bauran biodiesel pun dia sebut menjamin peningkatan serapan domestik. Dengan demikian, persentase serapan domestik CPO pun akan meningkat menjadi 36 persen pada 2021.

"Peningkatannya itu adalah 7,3 juta ton berupa biodiesel menjadi 9,2 juta ton di 2021, dengan catatan B30 dan dananya cukup," kata Sahat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper