Bisnis.com, JAKARTA — Kendati masih berada di tengah situasi pandemi, iklim penawaran umum saham perdana Indonesia dinilai masih sehat. Pun, jumlah dana yang terhimpun diperkirakan meningkat di kuartal terakhir tahun ini.
Sepanjang tahun berjalan hingga akhir kuartal III/2020, Indonesia tercatat memiliki 46 perusahaan baru yang melantai di Bursa. Realisasi ini meningkat 21,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni 38 IPO.
EY Indonesia M&A Practice Leader Sahala Situmorang mengatakan, terlepas dari pandemi yang tengah terjadi tahun ini, jumlah IPO yang tercatat di pasar modal Indonesia ternyata mengalami peningkatan.
“Kami juga menyaksikan peningkatan jumlah usaha kecil dan menengah (UMKM) yang memasuki pasar modal untuk kebutuhan pendanaan mereka,” ujar Sahala seperti dikutip dari publikasi Ernst & Young, Jumat (20/11/2020).
Terlihat, 54,4 persen dari perusahaan yang go public mengumpulkan Rp50-250 miliar atau sekitar US$3,4—17 juta. Sementara 41,3 persen dari perusahaan yang baru terdaftar mengumpulkan kurang dari Rp 50 miliar atau $3,4 juta.
Namun, pada Q4/2020, Sahala memperkirakan akan ada IPO skala besar yang akan mengumpulkan dana hingga US$500 juta atau sekitar Rp7,06 triliun.
Baca Juga
“Dengan latar belakang ini, kami yakin bahwa pasar IPO Indonesia tahun ini akan mampu meraih rekor tinggi di tengah tantangan utama yang kami hadapi,” tambahnya.
Lebih lanjut Sahala mengatakan secara umum tahun ini memang tidak dapat diprediksi. Menurutnya, saat memasuki kuartal terakhir 2020, investor mungkin akan mengamankan keuntungan segera setelah mereka melihat tanda-tanda ketidaknyamanan pasar.
Sementara secara global, perbedaan antara kesejahteraan ekonomi, PDB, dan penilaian pasar saham, juga dapat menyebabkan kecemasan di antara beberapa investor.
Apalagi ada sejumlah hal yang memiliki ketidakpastian tinggi. Antara lain perdagangan AS-China, hasil pemilihan presiden, ketidakpastian seputar Brexit dan prospek Q4 yang positif dengan penyebaran kesepakatan yang sehat di berbagai pasar.
“Selama peluang tetap terbuka, diharapkan transaksi akan terus dilakukan,” pungkasnya.
Sementara itu Ernst & Young mencatat bahwa sepanjang tahun ini ada 77 penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) di Asia Tenggara , dengan total dana yang terhimpun US$4,3 miliar.
Secara volume, realisasi tersebut menurun 13 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sedangkan jika dilihat dari sisi pendapatan ada kenaikan sekitar 12 persen secara tahunan.
“Pada Q3/2020, ada total 33 IPO yang mengumpulkan US$1,1 miliar di seluruh Asean, dimana naik 175 persen dalam volume dan 491 persen dalam hasil dari Q2/2020.
Ernst & Young mengatakan, meski Malaysia mengalami peningkatan yang stabil dalam aktivitas secara keseluruhan, dampak ekonomi dari pandemi COVID-19 terasa cukup signifikan, terutama di Indonesia dan Thailand.
“Akibatnya, wilayah terkait memerlukan waktu yang relatif lama untuk pulih,” tulis firma multinasional itu.
Meskipun demikian, Indonesia dan Tahiland diharapkan jadi motor penggerak. Indonesia memiliki satu IPO dalam list yang dapat mengumpulkan US$500 juta di akhir tahun, sedangkan Thailand memiliki beberapa IPO yang cukup besar pada Q4/2020.
EY Asean IPO Leader Max Loh mengatakan aktivitas IPO yang sehat pada Q3/2020 menunjukkan bahwa perusahaan di Asia-Pasifik memanfaatkan peluang untuk go-public dalam meningkatkan ketahanan dan meningkatkan basis modal mereka untuk investasi dan pertumbuhan.
Dia menilai valuasi kuat yang terlihat di beberapa perusahaan 'ekonomi baru' yang terdaftar baru-baru ini dan yang tidak terkena dampak pandemi memberikan sinyal positif kepada calon IPO potensial lainnya yang ingin menyelesaikan transaksi mereka di kuartal mendatang.