Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ketinggalan Jauh dari Pasar Global, BEI Genjot Pengembangan ETF

Di pasar global porsi investasi yang dikelola secara pasif telah ada di kisaran 50—60 persen dari total reksa dana yang ada, sedangkan di Indonesia baru 10 persen.
Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi (kiri) didampingi Direktur Hasan Fawzi memberikan penjelasan mengenai sejumlah tantangan yang dihadapi oleh pasar modal Indonesia, di Jakarta, Rabu (20/3/2019)./Bisnis-Dedi Gunawan
Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi (kiri) didampingi Direktur Hasan Fawzi memberikan penjelasan mengenai sejumlah tantangan yang dihadapi oleh pasar modal Indonesia, di Jakarta, Rabu (20/3/2019)./Bisnis-Dedi Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA — PT Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah fokus mengembangkan dan membesarkan pangsa pasar exchange trade fund (ETF) di Indonesia.

Berdasarkan data Bursa per akhir September 2020, jumlah ETF yang diperdagangkan di lantai bursa mencapai 45 produk yang diterbitkan oleh 22 manajer investasi dan diperdagangkan melalui 7 dealer partisipan.

Jumlah ini terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagai gambaran, pada 2017 baru ada 14 ETF yang tercatat, kemudian pada 2018 terdapat 24 ETF, pada 2019 naik menjadi 38 ETF.

Bahkan, jumlah ETF yang ada di Indonesia menjadi yang terbanyak di antara negara-negara tetangga. Contohnya Singapura memiliki 28 ETF, Malaysia 20 ETF, Thailand 14 ETF, dan Filipina hanya 1 ETF.

Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi mengatakan realisasi tersebut menunjukkan bahwa ETF mengalami perkembangan yang cukup baik selama beberapa tahun belakangan. Namun, dia menilai tren ETF di pasar domestik masih jauh tertinggal dibandingkan global.

Dia menjelaskan, saat ini di pasar global tren aktivitas investasi yang dikelola secara pasif (passively managed investment) seperti ETF dan reksa dana indeks (index fund) terus meningkat dan porsinya terus membesar dibandingkan investasi yang dikelola secara aktif.

“Ini yang membuat kemudian pasar ETF betul-betul menjadi sumber pertumbuhan baru yang harus serius dikembangkan,” ujarnya dalam sesi paparan bersama awak media, Selasa (3/11/2020)

Kemudian, tambah Hasan, berkaca ke beberapa pasar modal yang lebih matang (mature) daripada Indonesia, porsi transaksi ETF di pasar sekunder semakin lama semakin signifikan bahkan melampaui angka ekuitasnya sendiri.

Kepala Divisi Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia Ignasius Denny Wicaksono menambahkan, di pasar global porsi investasi yang dikelola secara pasif telah ada di kisaran 50—60 persen dari total reksa dana yang ada.

Adapun, untuk di Indonesia sendiri saat ini porsi passively managed investment baru ada di kisaran 10 persen. Namun, Denny menyebut angka itu sudah jauh berkembang dibanding lima tahun lalu yang mana porsinya hanya sekitar 1 persen.

“Sekarang sudah meningkat lumayan tapi kalau melihat tren internasional berarti masih ada ruang 40 persen untuk kita ngejar. Kalau di sisi kita, passively managed investment itu kan bagi dua, setengah index fund, setengah ETF,” tutur dia.

Lebih lanjut Hasan menyatakan, bursa mengantisipasi tren tersebut dengan mengembangkan pasar ETF di dalam negeri secara sistematis, mulai dari menambah produk, mengajak lebih banyak anggota bursa untuk jadi dealer participant, dan memberikan insentif agar MI dan AB tertarik untuk menerbitkan lebih banyak ETF.

“Dan tidak kalah penting pemahaman investor, ini memang tidak boleh tinggalkan masalah edukasi,” imbuh Hasan.

Dia mengharapkan, ke depannya ETF dapat menjadi tujuan investasi yang bukan hanya diminati oleh investor institusi tapi menjadi pilihan bagi investor ritel, terutama dengan sejumlah keunggulan yang dimiliki oleh ETF.

Menurutnya, dengan memilih produk investasi yang dikelola secara pasif seperti ETF, risiko mismanagement investasi dapat dihindari karena ETF mengacu pada indeks-indeks yang underlying-nya sudah terjamin dengan tracking dan serangkaian seleksi.

Benchmark dari underlying ini kan diatur sedemikian rupa, jadi itu pergerakan, NAB, dan angka acuan tidak akan ada yang jauh berbeda dengan indeks acuannya, misalnya ETF IDX 30 pasti akan sejalan,” tutur Hasan.

Selain itu, investor juga mendapatkan instrumen investasi yang lebih transparan karena dapat mengetahui dengan pasti isi produk yang dibelinya dan terhindar dari kekhawatiran aset apa yang ada di balik produk konvensional.

“Ya mudah-mudahan ini jadi pilihan yang jauh lebih diminati,” pungkas Hasan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper