Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jumlah Kasus Covid Bertambah, Rupiah Ditutup Melemah

Nilai tukar rupiah ditutup melemah 8 poin pada perdagangan hari ini, dipicu sentimen kenaikan jumlah kasus infeksi virus corona.
Karyawati menunjukan Uang Rupiah dan Dollar AS di salah satu kantor cabang Bank BNI di Jakarta, Kamis (3/9/2020).  Bisnis/Himawan L Nugraha
Karyawati menunjukan Uang Rupiah dan Dollar AS di salah satu kantor cabang Bank BNI di Jakarta, Kamis (3/9/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah ditutup melemah super tipis pada perdagangan hari ini, Jumat (16/10/2020), dipicu sentimen rekor jumlah infeksi virus corona (Covid-19). Namun, dalam sepekan terakhir, rupiah berhasil mencetak penguatan.

Berdasarkan data Bloomberg, Rupiah melemah tipis 8 poin atau 0,05 persen ke level Rp14.698 per dolar AS. Indeks dolar di sisi lain melemah 0,15 persen ke posisi 93,693

Di awal perdagangan, rupiah dibuka melemah 18 poin atau 0,12 persen ke level Rp14.708 per dolar AS. Indeks dolar terpantau turun 0.07 persen ke level 93.738.

Kinerja rupiah bersamaan dengan tren pelemahan mata uang Asia terhadap dolar. Won Korea Selatan menjadi pemimpin pelemahan setelah terkoreksi 0,35 persen.

Kendati hari ini ditutup melemah, kinerja rupiah dalam sepekan terakhir menguat tipis 2 poin. Nilai tukar rupiah di akhir pekan ini menguat 0,01 persen dibandingkan penutupan akhir pekan lalu di posisi Rp14.700.

Depresiasi rupiah pada hari ini terjadi bersamaan dengan penambahan kasus infeksi baru virus corona di Indonesia. Kemarin, jumlah kasus positif mencapai 349.160, melewati Filipina sekaligus menempatkan Indonesia di urutan pertama di regional Asia Tenggara.

"Rupiah melemah mungkin disebabkan sikap investor menghindari risiko," ujar Mitul Kotecha, ahli strategi pasar negara berkembang di TD Securities seperti dikutip dari Bloomberg.

Analis di Societe Generale Hong Kong menyebut rupiah bisa bertahan dari koreksi lebih dalam berkat kinerja neraca dagang yang mencetak surplus US$2,4 miliar pada September 2020 lalu.

"Kami memandang Indonesia adalah pasar yang memiliki pertumbuhan lebih baik sehingga yield obligasinya lebih rendah," ujar Kiyong Seong, ahli strategi di Societe Generale.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rivki Maulana
Editor : Rivki Maulana
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper