Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produksi Libya Berpotensi Dibuka, Bagaimana Harga Minyak dan Pasokan Global?

Tim Analis Goldman Sachs memperkirakan bahwa produksi minyak Libya mungkin akan meningkat menjadi 550.000 barel per hari pada akhir 2020 dan hampir menyentuh satu juta barel pada pertengahan tahun depan.
Tangki penyimpanan minyak di California, Amerika Serikat/Bloomberg-David Paul Morris
Tangki penyimpanan minyak di California, Amerika Serikat/Bloomberg-David Paul Morris

Bisnis.com, JAKARTA - Kesempatan Libya untuk membuka kembali industri minyaknya semakin terbuka lebar seiring dengan perusahaan energi milik negara, National Oil Corp., mengatakan akan melanjutkan aktivitas ekspornya.

Lalu bagaimana nasib pasokan minyak global di tengah harga yang belum sepenuhnya pulih?

Mengutip laporan Bloomberg, National Oil Corp. (NOC), telah mengakhiri status force majeur dalam kontraknya dengan para konsumen. Dalam keterangan resmi NOC, perusahaan juga telah memberikan instruksi untuk memulai kembali produksinya di beberapa fasilitas yang telah aman dari komplotan tentara bersenjata.

Adapun, pencabutan status force majeure dalam kontrak itu juga ditujukan untuk fasilitas produksi di blok minyak yang sudah aman dan tidak dikepung oleh kelompok tentara bersenjata lagi.

“Sementara itu, penutupan fasilitas masih akan berlanjut di tempat lain sampai para milisi pergi melepas kepungan,” tulis National Oil Corp dalam keterangan resminya seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (21/9/2020).

Untuk diketahui, fasilitas minyak telah menjadi objek utama dari perang saudara yang terjadi di Libya, negara dengan cadangan minyak terbesar di Afrika.

Kelompok tentara oposisi yang dipimpin oleh Khalifa Haftar terus melakukan blokade terhadap saluran pipa hingga akses ekspor di infrastruktur energi Libya dalam 10 tahun terakhir.

Akibat hal tersebut, produksi minyak dari Libya terus tertekan sehingga memberikan gangguan pasokan terhadap persediaan global secara keseluruhan.

Pada Januari 2020, produksi minyak mentah harian sempat anjlok hingga di bawah 100.000 barel per hari, jauh lebih rendah dari volume produksi Libya pada umumnya di kisaran 1,1 juta barel per hari sebagai dampak blokade yang dilakukan oleh kelompok Khalifa Haftar.

Kala itu, Khalifa Haftar menutup pipa minyak Hamada-Zawiya setelah menutup aktivitas ekspor di tiga pelabuhan Libya sehingga memaksa NOC membatasi produksi minyak di ladang Sharara dan El Feel, salah satu ladang minyak terbesar di Libya.

Adapun, Tim Analis Goldman Sachs, termasuk Damien Courvalin, dalam riset terbarunya, memperkirakan bahwa produksi minyak Libya mungkin akan meningkat menjadi 550.000 barel per hari pada akhir 2020 dan hampir menyentuh satu juta barel pada pertengahan tahun depan.

Dengan demikian, aktivitas ekspor pun berpotensi juga akan kembali berjalan dan pasar akan kembali disuguhkan minyak-minyak dari Libya.

"Dari perspektif logistik, ekspor dapat segera dimulai kembali, karena persediaan minyak mentah NOC meningkat," tulis Courvalin dalam risetnya, seperti dikutip dari 

Kendati demikian, peningkatan produksi di lapangan hingga ke level awal sebelum ditutup kemungkinan akan memakan waktu, terhambat kerusakan kapasitas produktif.

Oleh karena itu, kembalinya pasokan dari Libya seharusnya tidak begitu berdampak signifikan meskipun OPEC dan sekutunya tengah mencoba menstabilkan pasar dengan memangkas produksi.

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (21/9/2020) hingga pukul 15.20 WIB harga minyak jenis WTI untuk kontrak Oktober 2020 di bursa Nymex anjlok 2,29 persen ke level US$40,14 per barel.

Sementara itu, harga minyak jenis Brent untuk kontrak Desember 2020 di bursa ICE turun 2,16 persen ke level US$42,22 per barel.

Padahal, pada pekan lalu dua jenis minyak itu berhasil membukukan kenaikan mingguan terbaiknya sejak Juni 2020 dengan masing-masing naik 6,3 persen dan 8,3 persen.

Analis Pasar untuk Asia Pasifik di Oanda Corp Jeffrey Halley mengatakan bahwa pasar sudah melihat reli minyak yang paling baik pada pekan lalu sehingga akan sulit bagi harga untuk kembali mengalami kenaikan yang substansial.

Apalagi, di tengah meningkatnya kembali kasus positif Covid-19 di banyak negara sehingga penerapan lockdown kembali bergulir yang menekan permintaan minyak.

“Dengan banyak lockdown diterapkan di Eropa, khususnya, dan kembalinya produksi Libya telah menekan sentimen pasar saat ini,” ujar Halley seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (21/9/2020).

Sementara itu, Tim Analis Monex Investindo Futures mengatakan bahwa harga minyak berpotensi menguji level US$41,5 per barel tertopang optimisme pertemuan OPEC pekan lalu, dan kabar kemungkinan pertemuan luar biasa OPEC di bulan Oktober.

“Jika harga naik ke atas level US$41,5 per barel, berpotensi ambil posisi beli menguji resisten US$41,85 - US$42,5 per barel. Namun, jika harga berbalik turun ke bawah level US$40,75, berpeluang ambil posisi sell untuk target US$39,75 - US$40,35 per barel,” tulis Monex Investindo Futures dalam publikasi risetnya, Senin (21/9/2020). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper