Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sentimen The Fed Gagal Bawa Harga Emas Menguat

Harga emas gagal melanjutkan tren kenaikan seiring keputusan The Federal Reserve mempertahankan tingkat suku bunga. Namun, dalan jangka menengah panjang, harga emas diyakini bakal naik.
Emas batangan 24 karat ukuran 1oz atau 1 ons, setara 28,34 gram. Harga emas mengalami pergerakan ekstrim pada pekan ini yang mana sempat turun ke level US$1.800 per ons beberapa hari setelah memecahkan rekor harga tertinggi./Bloomberg
Emas batangan 24 karat ukuran 1oz atau 1 ons, setara 28,34 gram. Harga emas mengalami pergerakan ekstrim pada pekan ini yang mana sempat turun ke level US$1.800 per ons beberapa hari setelah memecahkan rekor harga tertinggi./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Emas gagal mendapatkan katalis positif dari hasil pertemuan The Fed sehingga upaya untuk menembus level US$2.000 per troy ounce pun kandas. Alih-alih naik, harga emas malah berkurat di zona merah.

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Kamis (17/9/2020) hingga pukul 15.31 WIB harga emas di pasar spot bergerak melemah 0,76 persen ke level US$1.944,42 per troy ounce. Pada pertengahan perdagangan, emas sempat terkoreksi hingga 1 persen.

Sementara itu, harga emas di bursa Comex untuk kontrak pengiriman Desember 2020 berada di level US$1.949,3 per troy ounce, melemah 1,08 persen.

Untuk diketahui, emas  mengalami reli selama tiga hari berturut-turut menjelang pertemuan The Fed. Pelaku pasar berharap Bank Sentral AS mengeluarkan kebijakan yang akan mendukung harga emas untuk bergerak lebih tinggi lagi.

Namun, pasar tampak kecewa terhadap  keputusan The Fed yang mempertahankan suku bunga acuannya sehingga harga emas melemah. 

Koreksi emas itu pun tetap terjadi meski Gubernur The Fed Jerome Powell memberikan proyeksi bahwa bank sentral akan mempertahankan suku bunga rendah hingga 2023.

Direktur Eksekutif Komoditas dan Valas di Unit Wealth Management UBS Group AG Wayne Gordon mengatakan bahwa The Fed telah melakukan cukup banyak hal untuk mencegah ekspektasi inflasi yang lebih tinggi akibat sentimen pandemi Covid-19.

“Hanya, pasar mungkin kecewa dengan pedoman QE [quantitative easing] untuk mempertahankan suku bunga acuan daripada beralih ke pelonggaran kebijakan lainnya. Mungkin semua orang terlalu berharap pada The Fed,” ujar Gordon seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (17/9/2020).

Untuk diketahui, hasil FOMC untuk periode September 2020, para pembuat kebijakan Bank Sentral AS mempertahankan suku bunga di kisaran 0-0,25 persen dan berjanji untuk menunda pengetatan sampai AS kembali menyerap lapangan kerja maksimum dan inflasi kembali ke 2 persen.

Dalam proyeksi ekonomi terbaru yang diterbitkan Rabu (16/9/2020), sebanyak 16 dari 17 pejabat Fed mengatakan mereka berencana untuk mempertahankan suku bunga pada level yang secara historis rendah hingga 2022. Tiga belas pejabat memperkirakan suku bunga akan tetap mendekati nol hingga 2023.

Tetap Berkilau

Kendati demikian, Gordon menilai pelemahan emas saat ini akan terbatas dan merupakan sentimen sesaat karena investor memanfaatkan momentum penguatan dolar AS.

Indeks dolar AS yang bergerak mengukur kekuatan mata uang dolar AS di hadapan beberapa mata uang utama bergerak menguat 0,05 persen ke level 93,261.

Dia menilai secara jangka panjang masih banyak sentimen yang tetap mendukung harga emas karena suku bunga riil diperkirakan turun lebih lanjut hingga ke area negatif hingga tahun depan.

Tidak hanya AS, banyak bank sentral negara lain pun diyakini akan cenderung dovish terhadap kebijakan moneternya sehingga emas masih memiliki potensi untuk naik lebih tinggi. 

Bank of Japan tetap mempertahankan stimulus moneternya yang agresif sambil meningkatkan pandangannya tentang ekonomi yang dilanda pandemi, sedangkan Keputusan Bank of England dijadwalkan rilis pada Kamis (17/9/2020) waktu setempat.

Senada, Ekonom Oversea-Chinese Banking Corp Howie Lee mengatakan bahwa harga emas terkoreksi karena dolar AS yang sedikit menguat, padahal The Fed memberikan sinyal yang lebih dovish daripada perkiraannya.

“Secara keseluruhan, kemungkinan positif untuk emas dalam jangka menengah hingga panjang,” ujar Lee seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (17/9/2020).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Rivki Maulana
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper