Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

6 Bulan Corona di Indonesia, Derita di Sektor Properti Bertubi-tubi

Lembaga pemeringkat menurunkan peringkat sejumlah obligor dari sektor properti dalam selama enam bulan corona di Indonesia. Arus kas emiten properti seret karena penjualan properti mandek di tengah pandemi.
Grand Kamala Lagoon, proyek mixed use besutan PT PP Properti Tbk. Proyek yang berlokasi di Bekasi ini menjadi salah satu proyek properti andalan PP Properti./grandkamala.com
Grand Kamala Lagoon, proyek mixed use besutan PT PP Properti Tbk. Proyek yang berlokasi di Bekasi ini menjadi salah satu proyek properti andalan PP Properti./grandkamala.com

Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga pemeringkat beramai-ramai memangkas peringkat dan outlook obligasi sejumlah obligor dari perusahaan properti. Pandemi secara nyata telah membuat industri properti terseok-seok kendati banjir stimulus moneter.

Hari ini, tepat enam bulan pandemi virus corona melanda Indonesia. Sejak kasus pertama diungkap hingga 1 September 2020, total kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 177.571 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 128.057  orang dinyatakan sembuh dan 7.505 meninggal dunia.

Salah satu dampak pandemi yang begitu nyata antara lain penurunan tajam pada produk domestik bruto. Di kuartal I/2020 PDB masih tumbuh 2,97 persen. Adapun di kuartal II/2020 kontraksi -5,32 persen. Bayang-bayang resesi, kontraksi dua kuartal II/2020 berturut-turut mulai menjadi hantu.

Dalam enam bulan terakhir, Bank Indonesia tercatat tiga kali menurunkan bunga acuan BI 7 Days Repo Rate. Total pemangkasan mencapai 75 basis poin dengan posisi terakhir 4 persen.

Namun, arus kas yang seret seiring dengan penjualan properti yang mandek membuat prospek properti terbilang suram. 

Berdasarkan data yang dikumpulkan Bisnis, sejumlah lembaga pemeringkat baik nasional maupun internasional telah menurunkan peringkat dan/atau peringkat korporasi dalam beberapa pekan terakhir. 

Fitch Ratings misalnya, telah merevisi peringkat dan outlook sejumlah emiten di sektor properti sejalan tingginya paparan terhadap dampak penyebaran virus corona.

Pada pertengahan Agustus lalu, Fitch menurunkan peringkat PT PP Properti Tbk (PPRO) menjadi BBB- (idn) dari sebelumnya 'BBB + (idn). Sementara, outlook atau prospek peringkat surat utang PP Properti dipertahankan pada negatif.

Penurunan peringkat tersebut mencerminkan pandangan Fitch bahwa arus kas PP Properti dari operasi, termasuk akuisisi lahan tanah, akan tetap negatif dalam jangka menengah. Hal ini membuat perusahaan semakin bergantung pada utang untuk mendanai operasinya.

Fitch percaya pengumpulan dana dari uang muka penjualan akan melambat lebih lanjut karena pandemi virus corona (Covid-19). Arus kas emiten bersandi saham PPRO itu juga bisa tersendat karena penundaan yang signifikan dari pembeli yang menggunakan skema angsuran.

Fitch juga menurunkan rating utang emiten properti lainnya, PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) dari B- menjadi CCC- seiring dengan kenaikan risiko refinancing dan likuiditas yang dihadapi perusahaan.

Penurunan peringkat tersebut didasari oleh tingginya risiko likuiditas yang membayangi emiten berkode saham ASRI tersebut. Arus kas perusahaan yang minim serta anjloknya angka pra penjualan sebesar 21 persen membuat ASRI akan kesulitan membayar utang yang dimiliki.

Fitch juga menurunkan peringkat kredit jangka panjang PT Agung Podomoro Land Tbk. (APLN) karena adanya potensi tekanan likuiditas di perusahaan properti tersebut. Peringkat surat utang senior US$300 juta dipangkas dari CCC+ ke CCC-, peringkat yang masuk kuadran rawan gagal bayar.

Penurunan peringkat dipicu risiko likuiditas yang berasal dari jatuh tempo surat utang jangka menengah atau medium term notes (MTN) sebesar RP350 miliar. MTN tersebut jatuh tempo pada 20 Agustus 2020 lalu.

Selain itu, emiten properti PT Modernland Realty Tbk (MDLN) juga menjadi korban penurunan peringkat utang tersebut. Emiten ini bahkan sempat mendapatkan predikat Restricted Default (RD) karena tidak mampu membayarkan utang pokok obligasi senilai Rp150 miliar.

Setelah mencapai kata sepakat dengan para pemegang obligasi dan merestrukturisasi utangnya, peringkat MDLN akhirnya terangkat pada level CC. Meski demikian, peringkat 'CC' pada MDLN mencerminkan likuiditasnya yang buruk, dan kemungkinan gagal bayar dalam waktu dekat. 

Fleksibilitas keuangan perusahaan juga dianggap telah berkurang dan terhambat oleh pelemahan ekonomi sehingga menyebabkan likuiditas MDLN terus memburuk.

Penurunan peringkat pada MDLN juga dilakukan oleh lembaga pemeringkat lain seperti Moody’s dan Pefindo. 

Moody's menurunkan peringkat MDLN menjadi Ca dari Caa1 dengan proyeksi negative karena kemungkinan gagal bayar dan restrukturisasi utang. Adapun Pefindo menurunkan peringkat utang MDLN menjadi D dari CCC.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper