Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemarau Bisnis Hiburan di Kala Pandemi

Emiten yang bergerak di dunia hiburan mengalami tekanan kinerja akibat Covid-19.
Studi film Jakarta Film Studio (JFS) yang dikelola anak usaha PT MD Pictures Tbk. (FILM) diresmikan 7 Maret 2020. JFS mengusung konsep one stop shop facility, fasilitas produksi dan paska produksi film dalam satu lokasi yang dibangun di atas lahan sekitar 2,4 hektar./MD Picturesnn
Studi film Jakarta Film Studio (JFS) yang dikelola anak usaha PT MD Pictures Tbk. (FILM) diresmikan 7 Maret 2020. JFS mengusung konsep one stop shop facility, fasilitas produksi dan paska produksi film dalam satu lokasi yang dibangun di atas lahan sekitar 2,4 hektar./MD Picturesnn

Bisnis.com, JAKARTA - Apa artinya bisnis hiburan tanpa kehadiran penonton? Namun, itulah yang kini dihadapi oleh kalangan emiten pengusung bisnis tersebut akibat pandemi Covid-19 yang belum berlalu. Kini mereka harus berlari cepat untuk menebus ‘kesepian’ sebelumnya.

Memasuki akhir Juli, sinar matahari menyirami bumi pertiwi ditengah pandemi yang masih enggan angkat kaki.

I Gede Robi, frontman grup musik rock Navicula, tengah bersiap memanen kebun kecilnya di Ubud, Bali. Ada kacang panjang, labu, kenikir sampai dengan terung. Pandemi telah mendorongnya menjadi petani.

Pasalnya, jadwal konser banyak yang dibatalkan sejak Maret. Saat normal, Robi paling tidak manggung 3—4 kali dalam sepekan. Karena itu rocker tersebut kini banyak mempunyai waktu luang. Mengolah kebun pun jadi pilihan.

“Tidak ada pemasukan dari main band atau fasilitator acara, jadi beralih berkebun dan bikin kompos. Jadi banyak waktu dengan keluarga dan belajar,” ujarnya kepada Bisnis belum lama ini.

Jadwal konser Robi paling dekat pada Agustus mendatang melalui sistem daring. Sementara untuk offline, kemungkinan baru bisa pada Oktober di Synchronize Festival. Event musik akbar yang digagas PT Dyandra Media International Tbk. (DYAN).

Head of Investor Relations & Corporate Communications, Dyandra Media International, Mirna Gozal mengatakan akan menggelar empat pameran sekaligus pada Oktober mendatang. Pameran itu akan merangkum seluruh event tahun ini seperti otomotif, properti, furnitur hingga musik.

Harapannya, kinerja keuangan perseroan dapat membaik. “Kuartal III dan kuartal IV ini kita akan tetap kejar untuk pendapatan, sehingga laba bisa ikut naik,” kata Mirna kepada Bisnis baru-baru ini.

Dia mengakui kuartal II/2020 adalah momentum paling berat perseroan, karena hampir semua bisnis DYAN terhenti. Pendapatan pun merosot tajam.

DYAN menekuni empat segmen bisnis utama, yaitu segmen event organizer (EO), segmen usaha konvensi dan eksibisi di Surabaya dan Bali. Lalu segmen perhotelan di Bali, dan kebun raya di Purwodadi serta Bali yang sejauh ini operasinya masih terbatas.

Segmen EO dilakukan secara daring, sedangkan bisnis perhotelan kemungkinan dibuka kembali pada Agustus. Pada kuartal I/2020, DYAN masih membukukan pendapatan Rp123,24 miliar, turun dari tahun sebelumnya Rp128,88 miliar.

Adrian S. Herlambang, Direktur Utama Dyandra Media International, masih optimistis dengan prospek bisnisnya. “Dalam kondisi saat ini, perusahaan tetap mengejar pendapatan dan operasional dijalankan secara lean untuk mengantisipasi operating profit yang diperkirakan menurun,” katanya.

DYAN akan memacu pemasukan melalui event akbar pada Oktober. Proyek kolaborasi ini diyakini sebagai solusi baru di era new normal ketika masyarakat akan lebih selektif dan efektif saat menghadiri sebuah perhelatan.

Kemarau Bisnis Hiburan di Kala Pandemi

Tak pelak lagi sejak pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia Maret lalu, yang diiringi penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB)—termasuk larangan menghimpun massa dalam skala besar—dunia hiburan seperti ajang konser musik dan industri perfilman terpukul telak.

Bioskop dilarang beroperasi selama 3 bulan lebih. Alhasil jumlah karyawan PT Graha Layar Prima Tbk. (BLTZ) berkurang drastis dari posisi 2.147 pada akhir tahun lalu menjadi 586 orang. Sekitar 1.561 karyawan ada yang mengundurkan diri atau habis masa kontraknya.

Public Relations Graha Layar Prima Hariman Chalid mengatakan perseroan ‘beralih’ menekuni jasa pembuatan video konten dan iklan untuk pihak ketiga atau eksternal guna mendapatkan pemasukan. BLTZ juga melaksanakan kegiatan pemasaran digital di seluruh platform daring perseroan.

Menilik dari laporan keuangan perseroan kuartal I/2020, 65,48% pendapatan berasal dari bioskop atau sekitar Rp166,67 miliar. Adapun segmen makanan menyumbang Rp60,37 miliar, segmen acara dan iklan Rp27,38 miliar serta segmen lisensi dan jasa Rp87,40 juta. Total pendapatan sebesar Rp254,51 miliar, turun 12,91% dari posisi Rp292,25 miliar.

Manajemen juga telah melaporkan bila pada semester I/2020 akan terjadi penurunan laba bersih hingga 75%. Adapun pada kuartal I/2020, BLTZ mencatatkan rugi bersih Rp54,3 miliar.

Dengan begitu, ada kemungkinan rugi ini akan kian membengkak karena perseroan harus mengeluarkan dana minimal untuk menggaji karyawan.

Sementara itu, Direktur Utama MD Pictures Manoj Dhamoo Punjabi tengah mencari jalan keluar untuk menyiasati penutupan bioskop. Emiten berkode saham FILM itu sedang mendekati aplikasi streaming digital.

“Kami adalah penyedia konten yang memiliki kesempatan berbeda. Aplikasi digital akan menjadi besar. Kami mau mengejar pasar digital. Launching film baru bisa jadi disana,” ungkapnya kepada Bisnis.

Kemarau Bisnis Hiburan di Kala Pandemi

KKN di Desa Penari, salah satu film MD Pictures yang penayangannya di bioskop tertunda. Istimewa

Dia tak menampik bila penutupan bioskop memicu dampak serius bagi perseroan. Pada kuartal I/2020, FILM membukukan penjualan Rp29,35 miliar, turun 51,33% secara tahunan.

Segmen layar lebar menyumbang Rp17,27 miliar atau 58,84% total pendapatan. Segmen digital hanya Rp257,01 juta. Namun, kata Manoj, porsi penjualan digital akan semakin diperbesar.

“Saat ini semua orang ingin sekali menonton film. Sayang saja bioskop tutup. Kuartal II memang jelek, tapi kuartal setelahnya pasti akan membaik.”

Analis Sucor Sekuritas Hendriko Gani mengatakan penutupan bioskop lebih dari tiga bulan akan berdampak pada kinerja keuangan BLTZ dan FILM. Hal itu tentu berimbas pada keputusan investor.

“Ini akan menjadi sentimen negatif, karena berpotensi membukukan penurunan laba atau bahkan merugi karena belum dapat beroperasi, sehingga belum dapat membukukan pendapatan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Pandu Gumilar
Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper