Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lonjakan Kasus Baru Covid-19 Ancam Pemulihan Harga Minyak

Kenaikan kasus Covid-19 di beberapa negara membuat pelaku pasar menghindar aset berisiko seperti minyak. Dalam jangka panjang, pandemi yang berlarut akan membuat permintaan lungsur dan bisa menekan harga minyak.
Pompa minyak terlihat saat matahari terbit di dekat Bakersfield, California, AS./ REUTERS -Lucy Nicholson
Pompa minyak terlihat saat matahari terbit di dekat Bakersfield, California, AS./ REUTERS -Lucy Nicholson

Bisnis.com, JAKARTA - Melonjaknya kasus positif baru Covid-19 di AS mengancam proses pemulihan pasar minyak dari rekor penurunannya ke wilayah negatif pada medio April.

Kekhawatiran pasar terhadap penyebaran Covid-19 meningkat setelah beberapa negara bagian AS melaporkan lonjakan kasus baru. Hal itu pun membuat AS diproyeksi kembali menerapkan lockdown yang baru saja dilonggarkan.

Penasihat kesehatan Gedung Putih Dr. Anthony Fauci belum lama ini pun mengomentari lonjakan kasus Covid-19 yang terlihat cukup parah dan merekomendasikan untuk penghentian sementara fase pembukaan ekonomi kembali di AS. 

Di Houston, pusat industri minyak AS, permintaan tempat tidur untuk unit perawatan intensif melonjak 10 persen dalam satu hari. 

New York, New Jersey, dan Connecticut mengumumkan bahwa pengunjung dari negara bagian mana pun yang memiliki tingkat tes positif di atas 10 persen harus karantina selama 14 hari untuk menghindari kenaikan kasus positif.

Berdasarkan data World O Meters, per 24 Juni 2020 jumlah kasus positif Covid-19 di AS telah mencapai 2,46 juta, masih menduduki posisi pertama negara dengan jumlah kasus positif terbanyak.

Analis Tortoiese di Leawood, Kansas Nick Holmes mengatakan bahwa sentimen risk off atau menghindar dari aset-aset berisiko, termasuk minyak, kembali menjadi fokus pasar saat ini.

"Saat ini risk off karena lonjakan kasus coronavirus dan implikasi untuk permintaan jangka panjang kembali memenuhi pasar," ujar Holmes seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (25/6/2020).

Sentimen itu telah membuat minyak lengser dari posisi US$40 per barel yang belum lama ini berhasil diraih, setelah berkutat di area US$30 per barel dalam beberapa pekan.

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Kamis (25/6/2020) hingga pukul 09.38 WIB harga minyak mentah berjangka jenis WTI di bursa Nymex untuk kontrak Agustus 2020 melemah 0,63 persen ke level US$37,77 per barel.

Sementara itu, harga minyak berjangka jenis Brent di bursa ICE untuk kontrak Agustus 2020 terkoreksi 0,79 persen ke level US$39,99 per barel.

Dalam pertengah perdagangan, minyak sempat anjlok hingga 5 persen.

Harga minyak telah naik dua kali lipat dari harga terendahnya pada medio April, ketika harga anjlok ke area negatif. Namun, analis menilai pemulihan harga minyak saat ini masih rentan. 

Apalagi, dibayangi membludaknya pasokan akibat turunnya permintaan seiring dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi global.

Tim Riset Monex Investindo Futures mengatakan bahwa harga minyak berpeluang bergerak turun dalam jangka pendek karena sentimen peningkatan cadangan minyak mentah AS.

Dalam laporan terbarunya, Energy  Information Administration (EIA) menyebutkan, persediaan minyak mentah AS naik 1,4 juta barel pada pekan lalu. Angka itu pun jauh lebih tinggi daripada ekspektasi pasar yang memperkirakan hanya naik 299.000 barel.

Kenaikan itupun menjadi rekor kenaikan tiga pekan berturut-turut untuk penyimpanan minyak mentah AS.

“Harga minyak menguji level support  US$37,3 per barel hingga US$36,5 per barel. Jika bergerak naik, level resisten terlihat di US$38,3 per barel hingga US$39 per barel,” tulis Tim Riset Monex Investindo Futures dalam publikasi risetnya, Kamis (25/6/2020).

Di sisi lain, International Monetary  Fund (IMF) menurunkan prospek ekonomi dunia, memproyeksikan resesi yang jauh lebih dalam dan pemulihan yang lebih lambat daripada yang diantisipasi hanya dua bulan lalu.

Namun, pasar minyak masih ada harapan untuk memperkuat pemulihannya karena OPEC dan sekutunya bekerja untuk memangkas pasokan minyak global dan permintaan meningkat di negara-negara konsumen minyak utama, termasuk China.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Rivki Maulana
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper