Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kekuatan Pasar Modal AS yang Tahan Gejolak Sosial, Demo, dan Rasisme

Meskipun aksi protes yang dilatari isu ketidakadilan ras ini terus terjadi, pasar keuangan nampaknya tidak bergeming.
Aktivitas masyarakat terlihat di salah satu sudut pusat keuangan dunia, Wall Street di New York, Amerika Serikat/Bisnis-Stefanus Arief Setiaji
Aktivitas masyarakat terlihat di salah satu sudut pusat keuangan dunia, Wall Street di New York, Amerika Serikat/Bisnis-Stefanus Arief Setiaji

Bisnis.com, JAKARTA – Aksi demonstrasi menuntut keadilan atas tewasnya George Floyd oleh petugas kepolisian terus berkecamuk di penjuru Amerika Serikat (AS). Tak jarang, aksi protes ini berakhir dengan kericuhan dan penjarahan.

Aksi yang terus berkobar ini dinilai dapat mempengaruhi kondisi ekonomi AS, yang kini tengah berjuang untuk pulih dari dampat wabah virus corona. Pasar keuangan pun tak lepas dari dampak ini.

Presiden Donald Trump pun siap mengerahkan ribuan pasukan bersenjata lengkap jika aksi protes atas kematian George Floyd tidak dapat dikendalikan pemerintah kota dan pemerintah negara bagian.

Trump menyatakan pasukan dalam jumlah besar akan diturunkan di seluruh negara jika pemerintah di kota-kota dan negara-negara bagian tidak bertindak untuk menghentikan aksi kekerasan para mengunjuk rasa yang memprotes kebrutalan polisi.

"Saya akan mengirim ribuan dan ribuan tentara bersenjata lengkap," kata Trump di Gedung Putih.

Meskipun aksi protes yang dilatari isu ketidakadilan ras ini terus terjadi, pasar keuangan nampaknya tidak bergeming. Pelaku pasar masih fokus terhadap sentimen optimisme pembukaan kembali perekonomian dan langkah-langkah stimulus terbaru di sejumlah negara.

Hal ini terlihat dari ketiga indeks utama Wall Street yang seluruhnya menguat pada perdagangan Selasa (2/6/2020).

Dilansir dari Bloomberg, indeks Dow Jones Industria Average ditutup menguat 1,05 persen atau 267,63 poin ke level 25.742,65, sedangkan indeks Nasdaq Composite ditutup menguat 0,59 persen atau 56,33 poin ke level 9.608,38.

Sementara itu, indeks S&P 500 menguat 0,82 persen atau 25,09 poin ke level 3.080,82, sekaligus mencapai level tertinggi sejak 4 Maret 2020, dengan dua saham menguat untuk setiap satu saham yang turun.

"Setiap orang yang menilai apa yang mereka lihat di berita setiap malam mengakui bahwa keadaan semakin memburuk, namun pasar berfokus pada hal-hal yang mereka yakini semakin membaik," kata Brian Levitt, analis pasar global di Invesco, seperti dikutip Bloomberg.

Pergerakan Dow Jones Sebulan Terakhir

Kekuatan Pasar Modal AS yang Tahan Gejolak Sosial, Demo, dan Rasisme

Secara historis, pasar saham AS terbukti tahan terhadap pergolakan sipil dan politik dalam negeri. Lihat saja pada tahun 1968 silam setelah demonstrasi besar pecah menyusul pembunuhan Martin Lugher King Jr, indeks S&P 500 berakhir menguat nyaris 11 persen lebih tinggi pada tahun itu.

Tak hanya itu, indeks S&P juga berakhir menguat pada tahun 1992 setelah pecahnya kerusuhan menyusul pembebasan petugas kepolisian Los Angeles yang telah memukuli Rodney King, warga sipil kulit hitam.

Pada dua tahun menjelang akhir abad ke-20, pengadilan pemakzulan Presiden Bill Clinton disertai oleh penguatan indeks S&P 500 lebih dari 20 persen pada tahun 1998 dan 1999. Baru-baru ini, aksi protes Occupy Wall Street yang dimulai di Taman Zuccotti Manhattan pada akhir 2011 justru direspons dengan penguatan indeks S&P 500 sebesar 4,5 persen.

"Sejarah menunjukkan pasar telah melalui berbagai macam peristiwa yang kacau dan selama beberapa dekade terakhir," kata Nicholas Colas di DataTrek Research, seperti dikutip Financial Times.

Kekuatan Pasar Modal AS yang Tahan Gejolak Sosial, Demo, dan Rasisme

Chief Market Strategies di TD Ameritrade, JJ Kinahan mengatakan respons Wall Street yang relatif tenang terhadap aksi protes mungkin mengindikasikan bahwa investor dan pelaku pasar berpikir hal tersebut tidak akan mengarah pada kerusakan ekonomi jangka panjang.

Namun, Kinahan memperingatkan bahwa aksi protes tersebut terjadi di banyak kota dan negara bagian yang tengah mengambil langkah untuk membuka kembali ekonomi mereka setelah penutupan akibat virus corona.

“Dengan pemulihan ekonomi yang cepat dari virus corona yang sebagian besar telah diperkirakan, gejolak nasional yang menyebabkan beberapa pemilik toko menutup etalase mereka setidaknya menimbulkan pertanyaan apakah kenaikan harga saham dapat dipertahankan jika penjarahan dan jam malam terus berlanjut,” ungkap Kinahan, seperti dikutip Forbes.

“Sulit bagi perekonomian untuk pulih ketika orang tidak dapat membuka bisnis mereka, terlepas karena virus atau ancaman kekerasan,” lanjutnya.

Direktur pelaksana strategi investasi SLC Management, Dec Mullarkey mengatakan pelaku pasar cenderung mengabaikan gejolak sosial yang terjadi.

"Mereka umumnya menyimpulkan bahwa peristiwa menyedihkan ini agak tak terhindarkan dalam demokrasi liberal dan tetap yakin hal ini akan terselesaikan dan tidak akan mempengaruhi secara jangka panjang," ungkap Mullarkey, seperti dikutip Boston Globe.

Kekuatan Pasar Modal AS yang Tahan Gejolak Sosial, Demo, dan Rasisme

Anomali ini berasal dari fakta bahwa para investor membeli dan menjual saham berdasarkan pandangan mereka terhadap pendapatan perusahaan, suku bunga, dan pertumbuhan ekonomi dalam enam bulan hingga dua tahun mendatang.

Di sisi lain, aksi protes ini terjadi ketika hampir 46 juta warga Amerika mengajukan klaim pengangguran dan jutaan usaha kecil yang merupakan bisnis dalam jajaran Main Streets terpaksa ditutup.

Perbedaan Wall Street dan Main Street juga merupakan simbol dari kenyataan yang ada di AS, antara warga kaya yang sebagian besar bertahan dari pandemi Covid-19 dan kesulitan ekonomi, serta kaum miskin dan kelas pekerja yang bagi mereka mencari nafkah hanya menjadi semakin sulit dan lebih berbahaya.

Kesenjangan kekayaan semakin memburuk, karena sebagian berkat pasar saham, yang kekayaannya dikendalikan oleh sebagian kecil warga tajir AS.

Pandangan pasar bahwa pendapatan perusahaan akan lebih baik di masa depan tidak memiliki dampak bagi warga yang masih bekerja keras agar digaji dan membayar tagihan pada masa sulit seperti ini, terutama di Massachusetts, yang telah terpukul lebih keras daripada kebanyakan negara bagian karena pandemi Covid-19 dan penutupan bisnis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper