Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Resesi Bebani Perusahaan, Default 'Tersembunyi' Bakal Melonjak

Resesi terburuk sejak periode 'Great Depression' mendorong perusahaan-perusahaan yang berutang mengalami gagal bayar (default).
Moody's Investor Service
Moody's Investor Service

Bisnis.com, JAKARTA – Resesi terburuk sejak periode 'Great Depression' mendorong perusahaan-perusahaan yang berutang mengalami gagal bayar (default).

Perusahaan-perusahaan pemeringkat memperkirakan akan ada lebih banyak perusahaan yang mengejar Distressed Debt Exchanges (DDE), dimana mereka mencoba untuk mengatasi problem likuiditas dengan debt swap (pembayaran utang dengan cara menukar) atau membelinya kembali dengan diskon besar.

Menurut definis Moody's, DDE terjadi ketika perusahaan yang tertekan menawarkan kreditor utang baru ataupun yang direstrukturisasi, atau paket surat berharga, uang tunai atau aset, dengan jumlah kewajiban keuangan relatif menjadi lebih kecil terhadap kewajiban awal.

Langkah tersebut kurang jelas ketimbang pembayaran yang terlewat dan dapat berlalu di bawah radar untuk masyarakat yang berinvestasi secara umum, tetapi sering mengakibatkan kerugian bagi kreditor dan biasanya dihitung sebagai default oleh perusahaan-perusahaan pemeringkat.

Moody's Investors Service memperkirakan peningkatan jumlah DDE secara keseluruhan di tengah penurunan ekonomi akibat pandemi virus corona (Covid-19) dan harga minyak yang rendah.

Sementara itu, Fitch Ratings mengatakan "dislokasi harga" di pasar obligasi berimbal hasil tinggi dapat menyebabkan lonjakan dalam praktiknya.

“DDE seringkali hanya menjadi 'perban' dan perusahaan akhirnya bangkrut,” ujar Edward Altman, seorang pengajar di Stern School of Business New York University dan direktur riset pasar kredit dan utang di NYU Salomon Center, dilansir dari Bloomberg.

Altman, yang mengembangkan metode yang banyak digunakan bernama Z-score untuk memprediksi kegagalan bisnis, memperkirakan bahwa hingga 40 persen dari DDE berakhir dengan kebangkrutan dalam waktu tiga tahun.

Wabah Covid-19 dan lockdown yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh banyak negara mendorong Dana Moneter Internasional (IMF) untuk memprediksi bahwa resesi selama periode “Great Lockdown” akan menjadi yang paling curam dalam hampir seabad.

Jika sejarah menjadi acuan, maka berarti akan ada lonjakan dalam DDE. Terdapat lonjakan praktik-praktik semacam itu selama krisis keuangan global, dan kasus-kasusnya tetap tinggi dalam beberapa tahun terakhir ketika para peminjam bergulat di bawah utang.

Pada Maret, Moody's mengatakan bahwa DDE sebagai bagian dari total default meningkat dari sekitar 10 persen pada tahun-tahun sebelum 2008 menjadi sekitar 40 persen setelahnya.

Dalam praktiknya, para peminjam menawarkan kepada para kreditor surat utang baru atau yang direstrukturisasi dengan imbalan atas apa yang mereka miliki. Perusahaan juga dapat menawarkan uang tunai untuk membeli kembali surat utang dengan diskon besar.

Sementara itu, investor dapat menyetujui DDE karena berbagai alasan. Mereka mungkin percaya peminjam hanya perlu waktu untuk membalikkan keadaan, atau mereka mungkin merasa akan kehilangan lebih banyak jika perusahaan didorong ke likuidasi.

“Dalam beberapa kasus, investor bahkan memulai diskusi dengan perusahaan untuk membeli kembali obligasi karena mereka ingin melikuidasi kepemilikan mereka dan tidak dapat menemukan pembeli lain,” ujar Xavier Jean, direktur senior untuk peringkat perusahaan di S&P Global Ratings.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper