Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Adu Kuat Grup Indofood dan Mayora, Mana Saham yang Lebih Atraktif?

Permintaan makanan dan minuman diperkirakan masih bertumbuh positif kendati pandemi Covid-19 memukul kegiatan ekonomi.
Indomie/Ilustrasi-indofood.com
Indomie/Ilustrasi-indofood.com

Bisnis.com, JAKARTA – Emiten sektor konsumer khususnya produsen bahan makanan dan minuman diperkirakan masih bisa bertumbuh positif mengingat selama pandemi berlangsung permintaan terhadap produk tersebut tak lantas menurun.

Seperti yang diketahui, Presiden Jokowi mengalokasikan anggaran Rp405,1 triliun untuk mengendalikan penyebaran virus corona di Indonesia.

Perinciannya, selain menggelontorkan dana Rp75 triliun untuk belanja kesehatan dan Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat, persentase dana terbesar yakni Rp110 triliun akan dipergunakan untuk perlindungan sosial atau bantuan sosial.

Analis Benny Kurniawan, Henry Wibowo, dan Jeanette Yutan dari JP Morgan Sekuritas memperkirakan penerima manfaat terbesar dari kebijakan tersebut adalah emiten sektor bahan makanan pokok khususnya PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP) dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF), dimana 90 persen profitabilitasnya didorong oleh produk mie instan dan susu cair.

“ICBP masih positif dalam mencapai target pertumbuhan penjualan 5 sampai 6 persen tahun ini, karena mereka belum mengalami penurunan pendapatan selama COVID-19 berlangsung,” tulis analis dalam risetnya.

Di sisi lain, Sucor Sekuritas merekomendasi buy atau beli saham INDF dengan target harga Rp8.950. Meski sempat merevisi target harga dari semula Rp9.450, laporan kinerja keuangan perseroan terbilang masih berada diatas ekspektasi sekuritas.

Analis Sucor Sekuritas Jennifer Widjaja meyakini INDF saat ini memiliki valuasi yang atraktif yakni 9,2 kali price to earning ratio (PER)proyeksi tahun 2020 dan harganya sudah 53 persen didiskon dari entitas anaknya ICBP. Price to earning ratio untuk ICBP sendiri diproyeksikan menjadi 19,6 kali pada tahun 2020.

“Kami merevisi asumsi pendapatan untuk periode 2020 dan 2021 masing-masing sebesar 3,5 persen dan 3,9 persen. Harapan kami perseroan dapat menormalkan pendapatan distribusi (setelah efek konsolidasi Nestle Indofood Citarasa Indonesia atau NICI) serta pendapatan yang lebih rendah untuk divisi Bogasari,” tulisnya dalam riset.

Adapun, PT Mayora Indah Tbk. (MYOR) masuk dalam radar emiten yang juga diuntungkan oleh pola konsumsi masyarakat yang berubah dengan mengonsumsi produk makanan dan minuman non dasar.

Sinarmas Sekuritas menilai permintaan produk-produk Mayora relatif stabil selama pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar dimana rumah tangga cenderung menyimpan produk seperti biskuit, wafer, dan sereal di kediamannya.

Analis Sinarmas Sekuritas Paulina menilai kehadiran MYOR di beberapa channel distribusi e-commerce menjadi strategi yang tepat kala orang-orang menghindari aktivitas di luar ruangan.

Dia juga menilai kuatnya identitas produk dapat menekan biaya iklan bersama dengan apresiasi mata uang dolar Amerika Serikat yang menguntungkan perseroan mengingat hampir 46 persen dari total penjualan berasal dari ekspor perseroan di kawasan Asia.

“Kami meningkatkan rekomendasi menjadi buy dengan target harga Rp2.250 yang menyiratkan 22,9 kali price-to-earning ratio (-1,5SD dari 5tahun rata-rata P/E). Risiko rekomendasi kami adalah perpanjangan penyebaran COVID-19, menurunnya daya beli dan penguatan rupiah,” tulisnya dalam riset.

Terakhir, Maybank Kim Eng Sekuritas tidak menjagokan saham MYOR melalui rekomendasi hold atau tahan dengan target harga Rp1.900. Meski secara alami terlindung dari depresiasi rupiah, namun pertumbuhan penjualan perseroan diperkirakan tertekan karena rendahnya konsumsi dan tingginya persaingan.

Karenanya, analis Isnaputra Iskandar dan Willy Goutama menurunkan target harga dari semula Rp2.650 menjadi Rp1.900 berdasarkan 23 kali estimasi price-to-earning ratio pada tahun 2020.

“Kami melihat pelambatan pendapatan yang signifikan dari MYOR karena meningkatnya persaingan dan roduk makanannya yang bukan bahan pokok. Kami merevisi earning per share atau EPS tahun 2020 dan 2021 masing-masing 21 persen dan 18 persen," tulis keduanya dalam riset.

Target tersebut juga mempertimbangkan skenario terburuk yakni asumsi penjualan kopi pada tahun 2020 menurun 10 persen yoy, yang sebenarnya tidak pernah terjadi selama 20 tahun terakhir.

Pada penutupan perdagangan Jumat (24/4/2020), saham INDF turun 3,07 persen atau 200 poin menjadi Rp6.325. Kapitalisasi pasarnya mencapai Rp55,54 triliun dengan PER 11,31 kali.

Saham ICBP juga terkoreksi 2,46 persen atau 250 poin menuju Rp9.900. Kaitalisasi pasarnya sejumlah Rp115,45 triliun dengan PER 22,92 kali. Adapun, saham MYOR pada akhir pekan juga menurun 2,24 persen atau 50 poin ke level Rp2.180. Kapitalisasi pasarnya sebesar Rp48,74 triliun dengan PER 24,49 kali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper