Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rasio PLM Dikerek, Surat Utang Jadi Buruan Perbankan

Kebijakan Bank Indonesia menaikkan rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) membuat perbankan harus menambah portofolio surat utang. Hal ini disebut bisa membawa angin segar bagi pasar obligasi dalam negeri.
ILUSTRASI OBLIGASI. Bisnis/Himawan L Nugraha
ILUSTRASI OBLIGASI. Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA— Kebijakan Bank Indonesia (BI) perihal peningkatan rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) dan penurunan rasio giro wajib minimum (GWM) dinilai berdampak positif terhadap pasar obligasi di dalam negeri. 

Pada Rabu (22/4/2020), BI mengumumkan penaikan rasio PLM bank umum konvensional 200 bps menjadi 6 persen dari dana pihak ketiga (DPK) ; dan mengerek rasio PLM unit usaha syariah (UUS) / bank umum syariah (BUS) 50 bps menjadi 4,5 persen. 

Kebijakan itu membuat perbankan harus menambah portofolio surat utang atau surat utang negara. Per Januari 2020, total DPK perbankan BUK mencapai Rp5.655,23 triliun sedangkan DPK BUS dan UUS tercatat sebesar Rp414,94 triliun.

Perubahan rasio PLM untuk BUK membuat perbankan harus menambah koleksi surat utangnya Rp113,1 triliun. Adapun, UUS dan BUS perlu menambah surat utang sebanyak Rp2,07 triliun. Walhasil kebijakan ini akan menambah permintaan baru terhadap surat utang sebanyak Rp115 triliun.

Head of Fixed Income Mandiri Sekuritas Handy Yunianto mengatakan kebijakan BI dalam menaikkan rasio PLM sangat tepat di saat situasi  pandemi Covid-19. Menurutnya, di satu sisi pemerintah dapat memastikan penyerapan surat utang sebagai sumber pembiayaan defisit tahun ini.

Di sisi lain, tambahnya, bank berpotensi mendapat imbal hasil yang lebih tinggi dan dapat melakukan repo SBN dengan Bank Indonesia sehingga likuiditas di pasar sekunder pun terjaga.

“Jadi win-win,” katanya kepada Bisnis, Kamis (23/4/2020)

Senada, Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Roby Rushandie juga menilai kebijakan peningkatan PLM baik untuk menyokong pendanaan pemerintah ketika APBN menyusut, apalagi ke depan target penerbitan surat utang negara masih mencapai Rp600 triliun.

“Dengan adanya kewajiban bank maka sudah ada kepastian penyerapan sekitar 100 triliun,” tambahnya.

Associate Director of Research and Investment Pilarmas Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan di tengah kondisi ketidakpastian pandemi seperti ini, obligasi akan menjadi instrumen penyaluran dana yang menjanjikan karena risikonya sangat rendah.

Dia juga menilai target penyerapan Rp100 triliun akan dengan mudah terlampaui, apalagi banyak bank BUMN yang memiliki likuiditas tinggi. Bahkan, bukan tak mungkin jumlah tersebut akan meningkat.

“Bank buku 3 dan buku 4 punya aset luar biasa, kami melihat dengan dana segitu pasti bank akan cukup menyerap,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rivki Maulana
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper