Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Investor Cermati Perkembangan Corona, Bursa Global Bergerak Variatif

Pasar ekuitas global tetap berada di jalur kuartal terburuknya sejak kuartal terakhir 2008 karena investor bergulat dengan dampak ekonomi dari penyebaran virus corona.
Bursa Asia/ Bloomberg.
Bursa Asia/ Bloomberg.

Bisnis.com, JAKARTA – Pasar saham global bergerak variatif pada perdagangan siang ini, Selasa (31/3/2020), terbebani keraguan investor soal penguatan bursa global di tengah perkembangan penyebaran virus corona (Covid-19).

Berdasarkan data Bloomberg, indeks MSCI Asia Pacific terkoreksi 0,3 persen dan indeks Topix Jepang anjlok 2,3 persen pada pukul 3.15 siang waktu Tokyo (pukul 13.15 WIB).

Pada saat yang sama, indeks futures S&P 500 turun 0,3 persen, setelah indeks saham acuan S&P 500 melonjak 3,4 persen pada akhir perdagangan Senin (30/3/2020). Meski demikian, indeks futures Euro Stoxx 50 mampu menanjak 0,7 persen.

Indeks futures S&P 500 tergelincir ke zona merah setelah menyentuh level tertingginya hari ini yang didongkrak indeks manufaktur China.

Aktivitas manufaktur China dilaporkan mengalami rebound pada Maret. Capaian ini menandakan bahwa ekonomi terbesar kedua dunia itu kembali pulih setelah menghadapi ancaman merosotnya permintaan global.

Biro Statistik Nasional (NBS) China merilis Purchasing Managers’ Index (PMI) naik ke angka 52,0 pada Maret 2020 dari rekor terendah 35,7 pada Februari. PMI di atas 50 menandakan perbaikan kondisi. Adapun, indeks yang mencakup layanan dan konstruksi di Negeri Panda tersebut berada di angka 52,3.

Kendati demikian, pasar ekuitas global tetap berada di jalur kuartal terburuknya sejak kuartal terakhir 2008 karena investor bergulat dengan dampak ekonomi dari penyebaran virus corona.

Sementara itu, Presiden Donald Trump mengindahkan nasihat dari pakar medis pemerintahannya, yang menyatakan membuka kembali AS dalam dua pekan berisiko kehilangan lebih banyak nyawa. Lebih banyak negara bagian AS pula yang mengeluarkan perintah untuk tidak keluar dari rumah.

“Kita tidak tahu berapa lama lockdown atau stasis ekonomi dunia akan terjadi,” ujar Toby Lawson, kepala pasar global di Societe Generale Securities Australia kepada Bloomberg TV.

“Akan terlalu dini untuk mengatakan bahwa kita telah melihat titik terbawah (bottom),” tambahnya.

Meski peningkatan aktivitas manufaktur mengindikasikan sentimen yang lebih baik di pabrik-pabrik China, jumlah produksi tetap jauh dari normal.

China diperkirakan masih akan mengalami kontraksi ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya pada kuartal ini.

Prospek untuk periode April-Juni tergantung pada seberapa cepat permintaan domestik dapat pulih dan kekuatan permintaan dari pasar luar negeri seperti AS yang masih bergelut dengan lonjakan jumlah kasus corona.

"Angka di atas 50 tidak berarti kegiatan ekonomi sepenuhnya dilanjutkan. Kita perlu sepenuhnya memahami penghematan dan kerumitan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan harus memberi perhatian besar atas guncangan virus terhadap produksi dan permintaan," kata Zhang Liqun, seorang peneliti di Pusat Informasi Logistik China.

Di sisi lain, para pedagang terus mencari titik terang sentimen yang membantu seperti upaya beberapa perusahaan perawatan kesehatan untuk dapat menghasilkan produk yang membantu mencegah wabah corona.

Saham Johnson & Johnson melonjak setelah raksasa farmasi ini mengatakan akan memulai upaya bernilai lebih dari US$1 miliar dengan pemerintah AS untuk membuat vaksin virus corona.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper