Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pandemi Covid-19 Picu Potensi Gagal Bayar Korporasi Asia

Hingga Februari 2020, para investor telah menarik dana sebesar US$34 miliar dari dana obligasi korporasi.
Karyawan mencari informasi tentang obligasi di Jakarta, Rabu (17/7/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Karyawan mencari informasi tentang obligasi di Jakarta, Rabu (17/7/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah negara di Asia menghadapi risiko gagal bayar utang korporasi seiring dengan kepanikan investor di kawasan tersebut.

Dilansir dari Bloomberg , Jumat (27/3/2020), penyebaran wabah virus corona menjadi salah satu penyebab utama peningkatan risiko gagal bayar utang. Pandemi ini memaksa perusahaan-perusahaan mengurangi kredit untuk menjaga kinerja keuangan dan menimbulkan kepanikan di tengah para investor.

Akibatnya, para investor mulai melakukan aksi jual obligasi korporasi yang menjadi salah satu sarana pembiayaan perusahaan. Data dari Institute of International Finance menyebutkan, hingga Februari 2020, para investor telah menarik dana sebesar US$34 miliar dari dana obligasi korporasi.

Meskipun pasar obligasi domestik di Asia terbilang kuat dan didukung oleh sistem perbankan yang sehat, sektor korporasi di Asia dinilai masih rentan goyah. Mata uang di Indonesia, Thailand, dan Singapura hingga saat ini telah terkontraksi 7 persen terhadap dolar AS pada tahun ini.

Hal tersebut menimbulkan risiko yang kian besar terhadap perusahaan di Indonesia. Nilai mata uang Rupiah menjadi yang terlemah di Asia karena anjlok hingga 15 persen dan kondisi pasar obligasinya tidak sekuat negara di kawasan tersebut.

Hal tersebut terlihat dari perubahan peringkat utang yang dilakukan oleh lembaga S&P. Selama sebulan kebelakang, S&P telah menurunkan peringkat atau mengubah outlook utang enam perusahaan Indonesia menjadi negatif yang memiliki utang outstanding sebesar US$3,2 miliar.

Salah satu perusahaan tersebut adalah PT Medco Energi Internasional Tbk. S&P mengubah outlook utang emiten di bidang minyak dan gas itu dari stabil menjadi negatif.

Sementara itu, China menjadi negara terbesar yang dibayangi oleh potensi krisis ini. Kepala Ekonom Asia Pasifik dari Natixis SA Alicia Garcia Hererro mengatakan, China memiliki 25 persen dari total utang korporasi dunia. Bahkan, 40 persen dari utang yang paling berisiko saat ini dimiliki oleh perusahaan-perusahaan China.

Berdasarkan data Bloomberg, dari seluruh obligasi di Asia Pasifik dengan tingkat imbal hasil di atas 15 persen, sebanyak US$23 miliar obligasi berdenominasi dolar AS akan jatuh tempo pada akhir tahun 2020. Perusahaan pada sejumlah sektor terancam tidak dapat membayar utangnya karena kegiatan operasional yang terhenti akibat pandemi ini.

Salah satu perusahaan tersebut adalah PT Garuda Indonesia. BUMN di bidang penerbangan ini memiliki utang US$500 juta yang terancam gagal dibayarkan karena kegiatan operasi penerbangan global yang terhenti sementara.

Di India, perusahaan otomotif Tata Motors memiliki obligasi denominasi dolar AS yang akan jatuh tempo pada bulan April 2020. Selain itu, di China, perusahaan pengembang China Evergrande Group juga terancam gagal membayarkan utang sebesar US$88,5 miliar yang jatuh tempo pada Juni 2020.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper