Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Enam Pelajaran di Balik Lonjakan IHSG 10 Persen

Frekuensi perdagangan saham kemarin menyentuh rekor baru, yakni 879.652 kali, melampaui torehan tertinggi pada September 2019.
Karyawan di dekat papan elektronik yang menampilkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Kamis (26/3/2020). Bisnis/Dedi Gunawan
Karyawan di dekat papan elektronik yang menampilkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Kamis (26/3/2020). Bisnis/Dedi Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA – Angin segar menghampiri pasar modal Tanah Air pada perdagangan kemarin, Kamis (26/3/2020). Seolah memutus kemalangan yang datang beruntun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ‘ngamuk’, naik 10,37 persen 4.338,9.

Indeks kembali ke level 4.000 setelah terpojok ke level 3.937,63 pada penutupan sebelumnya, Selasa (24/3/2020).

Direktur Perdagangan dan Penilaian Anggota Bursa Bursa Efek Indonesia (BEI) Laksono Widodo menyatakan frekuensi perdagangan pada hari ini bahkan berhasil menyentuh rekor baru, yakni 879.652 kali. Frekuensi ini melampaui rekor sebelumnya yang sebanyak 655.380 kali pada 12 September 2019.

Dari seluruh emiten yang tercatat di BEI, 300 emiten ditutup menguat dibandingkan penutupan hari sebelumnya. Sementara itu, 129 emiten  tercatat mengalami penurunan valuasi dan 115 emiten lainnya tak berubah.

Bisnis menghimpun, sedikitnya ada enam pelajaran yang bisa dipetik dari perdagangan kemarin.

Saham Bank Berjaya

Penguatan IHSG pada hari ini didorong besarnya arus modal portofolio yang masuk ke tanah air. Berdasarkan data BEI, nilai beli bersih yang dicatatkan investor asing pada perdagangan kemarin mencapai Rp662,26 miliar.

Saham perbankan seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. menjadi beberapa emiten yang paling diburu oleh investor asing.

Nilai transaksi terhadap dua saham bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV masing-masing mencapai Rp1,8 triliun dan Rp2 triliun. Investor asing tercatat melakukan beli bersih terhadap BBCA sebesar Rp418,82 miliar, sedangkan terhadap BBRI sebesar Rp304,75 miliar.

Hingga penutupan perdagangan sebelumnya, IHSG telah mengalami tekanan lebih 37,49 persen secara tahun berjalan. Penguatan saham kemarin telah memangkas kumulasi penurunan tersebut menjadi 31,12 persen. Masih cukup tinggi, tetapi mulai membaik.

Sentimen Stimulus Fikal dan Moneter Global

Salah satu sentimen positif utama bagi pasar finansial global, termasuk Indonesia, pada hari ini adalah keputusan Senat AS yang menyetujui stimulus fiskal sebesar US$2 triliun. Stimulus ini akan dikucurkan untuk sektor kesehatan, UMKM, tenaga kerja, dan dunia usaha.

Stimulus fiskal serupa yang diberikan oleh sejumlah negara lainnya untuk penanganan wabah Covid-19 juga menjadi sentimen positif. Jerman contohnya, mengalokasikan dana sebesar 10 persen dari PDB negara itu atau setara US$860 miliar.

Sentimen positif lainnya adalah langkah Bank Sentral di sejumlah negara yang mengikuti The Fed dalam menurunkan suku bunga kebijakan. Bank Sentral AS ini juga telah menambah suntikan likuiditas ke pasar keuangan.

Berbagai langkah tersebut dinilai sebagai komitmen negara-negara G20 untuk mengurangi kepanikan investor di pasar keuangan global. Hasilnya berbagai saham di berbagai negara mengalami penguatan, termasuk di Indonesia.

Koreksi Kian Terbatas

Dengan perkembangan ini, Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi memperkirakan koreksi terhadap pasar saham dalam negeri ke depannya akan semakin terbatas.

Menurutnya tekanan terbesar terhadap pasar saham domestik telah berkurang, meski tekanan dari penyebaran virus corona di Indonesia akan tetap menghantui.

Dia menjelaskan pelemahan IHSG sejauh ini telah mencerminkan ekspektasi terhadap laba bersih emiten di Indonesia akan terkoreksi lebih dari 20 persen pada tahun ini.

Namun, Bahana Sekuritas memperkirakan rata-rata laba emiten hanya akan tertekan sekitar 2 persen—4 persen pada tahun ini. IHSG juga diperkirakan masih bisa bangkit dan parkir di kisaran 5.650 pada pengujung 2020.

Krisis Asia 1998 Tidak akan Terulang

“Kasus ini cepat atau lambat akan teratasi, dan tidak akan berkepanjangan hingga bertahun-tahun, sehingga kami tidak melihat penyebaran virus ini akan berakhir pada resesi perekonomian seperti 1998, karena kondisi perbankan Indonesia masih cukup kuat,” ujarnya melalui keterangan resmi, Kamis (26/3/2020).

Dia menilai sejumlah sektor seperti pariwisata, perhotelan, restoran, transportasi udara, komoditas memang akan terhantam dampak negatif virus corona. Hal ini dikhawatirkan akan turut berdampak pada tingkat kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) sektor perbankan.

Meski begitu, dia memperkirakan dampak negatif itu masih bisa diredam oleh sektor perbankan Tanah Air. Alasannya, rata-rata rasio pencadangan atas kredit bermasalah perbankan di Indonesia cukup kuat di level 116 persen. Selain itu, perbankan dalam negeri juga memiliki permodalan yang ample dengan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) berada di kisaran 22 persen.

“Perbankan Indonesia masih cukup kuat, meski laba bersih perbankan pada tahun ini akan tertekan. Data juga memperlihat rasio utang Indonesia masih cukup rendah yang berarti kemungkinan korporasi Indonesia kesulitan untuk membayar utang cukup kecil,” tambahnya.

Intervensi pemerintah ala Keynesian juga dinilai akan berdampak positif dalam meredam dampak negatif virus corona. Pemerintah telah menyiapkan empat insentif fiskal untuk sektor usaha yang terdampak. Selain itu, Bank Indonesia juga telah melonggarkan kebijakan moneter untuk merespons pandemi yang sama.

Siapa Untung, Siapa Buntung ?

Meski kondisi ekonomi dirundung virus corona, tak berarti tidak ada yang diuntungkan. Lucky menilai salah satu sektor yang akan diuntungkan dari kondisi saat ini adalah telekomunikasi. Konsumsi kuota masyarakat diperkirakan akan semakin besar dengan pembatasan sosial dan kebijakan bekerja atau belajar dari rumah.

Selain itu, sektor farmasi diperkirakan turut menikmati keuntungan di tengah meningkatnya kebutuhan alat-alat kesehatan, multivitamin, dan obat. Terakhir, sektor konsumsi yang berkait dengan bahan pokok juga diperkirakan akan terus tumbuh.

Waktunya Beli Saham !

Lucky memperkirakan dampak virus corona akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2020 dan kuartal II/2020. Meski begitu, dia meyakini serangan global dari virus corona ini akan berakhir dan ekonomi serta pasar saham Indonesia dapat bangkit setelahnya.

“Tahun depan pemulihan secara global maupun domestik kami perkirakan akan lebih cepat terjadi, dengan dasar pencapaian sepanjang tahun ini yang tertekan,” ucapnya.

Lucky menyatakan bahwa kondisi saat ini merupakan momentum tepat bagi kaum pemodal untuk masuk ke pasar saham. Menurutnya saham-saham saat ini banyak yang mengalami diskon besar dan masih memiliki fundamental yang baik.

“Kami merekomendasikan saham-saham dengan beta tinggi atau saham yang berkorelasi cukup tinggi dengan indeks, sebagai antisipasi rally setelah krisis teratasi,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rivki Maulana
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper