Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dolar Sentuh Rp16.000, Begini Strategi Tower Bersama (TBIG), Bukit Asam (PTBA) dan Adaro (ADRO) Kelola Utang

Sejumlah perusahaan menerapkan strategi khusus dalam mengelola utang dalam dolar AS.
PT Tower Bersama Infrastructure Tbk/Istimewa
PT Tower Bersama Infrastructure Tbk/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA -  Pelemahan Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membuat utang korporasi membengkak. Sejumlah emiten tengah merancang strategi menghadapi risiko nilai tukar itu agar neraca keuangan terjaga dari selisih kurs.

Pada perdagangan Jumat (20//3/2020) lalu, nilai tukar Rupiah di pasar spot sempat anjlok hingga menyentuh level Rp16.225 per dolar AS. Nilai tukar terendah sejak krisis keuangan 1998.

Namun, pada penutupan perdagangan pekan kedua itu, Rupiah berhasil parkir di level Rp15.960 per dolar AS atau melemah 6,8 persen sepanjang pekan. Secara year to date, mata uang Garuda telah terkoreksi 15,1 persen terhadap dolar AS.

Sementara itu, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau Jisdor Bank Indonesia, rupiah parkir di level Rp16.273 per dolar AS pada penutupan Jumat (20/3/2020). Sepanjang pekan lalu, rupiah kurs Jisdor telah terkoreksi 9,8 persen.

Mohammad Faisal, Ekonom CORE Indonesia menjelaskan pelemahan Rupiah berdampak signifikan dan cukup mengkhawatirkan bagi ekonomi dalam negeri. Pembayaran utang yang berdenominasi dolar AS baik pemerintah maupun korporasi swasta akan membengkak dan mengganggu laju pertumbuhan.

“Korporasi akan memiliki beban biaya lebih banyak di tengah prospek perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan dalam negeri,” ujar Faisal kepada Bisnis, belum lama ini.

Direktur Keuangan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) Helmy Yusman Santoso mengatakan perseroan telah melakukan aksi hedging atau lindung nilai terhadap semua risiko fluktuasi mata uang maupun fluktuasi suku bunga. Aksi hedging ini dilakukan terhadap semua pinjaman perseroan yang berdenominasi dolar AS.

Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2019, emiten menara yang dirintis Wakil Menteri Pertahanan Wahyu Sakti Trenggono itu memiliki utang berdenominasi dolar AS sebesar US$1,375 miliar atau Rp21,945 triliun (kurs Rp15.960).

Dari total liabilitas itu, sebesar US$1 miliar merupakan pinjaman sindikasi. Sedangkan US$350 juta lainnya merupakan surat utang. Juga terdapat US$12,168 juta dan US$9,2 juta utang bunga.

“Kami selalu disiplin dalam menerapkan hedging. Kebijakan perusahaan kami adalah semua pinjaman 100 persen harus di-hedging,” ujar Helmy saat dihubungi Bisnis, Minggu (22/3/2020).

Dia juga menjelaskan perseroan melakukan kontrak berjangka dan kontrak swap valuta asing dengan lembaga keuangan internasional. Untuk kontrak berjangka, pada umumnya perseroan akan membayar sejumlah premi dengan jumlah yang tetap sebagai salah satu aksi hedging.

 

Dengan demikian, pelemahan rupiah yang terjadi saat ini sudah dapat diantisipasi sehingga neraca keuangan perseroan dapat terjaga dengan baik. Bahkan, Helmy menjelaskan bahwa dengan rupiah yang menyentuh level Rp16.000 per dolar AS, nasib pinjaman perseroan yang terekspos dolar AS masih aman.

Sementara itu, emiten batu bara pelat merah, PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) mengaku memiliki pinjaman berdenominasi dolar AS secara tidak langsung melalui entitas cucu perseroan yang bergerak di bidang kontraktor tambang, yakni PT Satria Bahana Sarana (PT SBS).

Sekretaris Perusahaan Bukit Asam Hadis Surya mengatakan utang tersebut merupakan sisa pinjaman lama pada saat proses akuisisi PT SBS sebesar US$17 juta. Namun, PTBA mengaku tidak ada aksi lindung nilai atau hedging terhadap utang tersebut dan belum ada rencana melakukan hedging.

Percepatan pelunasan utang dan rencana mengonversi pinjaman itu ke Rupiah merupakan upaya yang akan dilakukan PT SBS untuk mitigasi risiko fluktuasi rupiah terhadap dolar AS dan mengurangi eksposur keuangan perseroan terhadap mata uang asing.

“Proses pembayaran sudah berlangsung lama, sedangkan permintaan konversi sudah lama tetapi memang belum terlaksana,” ujar Hadis saat dihubungi Bisnis, Minggu (22/3/2020).

Kendati demikian, Hadis menjelaskan bahwa secara konsolidasi utang tersebut memiliki dampak yang sangat kecil terhadap keseluruhan neraca keuangan PTBA. Kehilangan dari utang tersebut sangat diimbangi oleh kinerja perseroan yang justru berpotensi surplus di tengah pelemahan rupiah.

Hal tersebut disebabkan oleh sebesar 40 persen penjualan PTBA merupakan pasar ekspor yang dibayar dalam dolar AS, sehingga nilai penjualan pun berpotensi lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama sebelumnya.

Sementara emiten pertambangan batu bara lainnya, PT Adaro Energy Tbk. (ADRO) mengaku pelemahan nilai tukar rupiah tidak mempengaruhi liabilitas perseroan.

Head of Corporate Communication Division Adaro Energy Febriati Nadira mengatakan semua pinjaman dan sebagian besar biaya pendapatan dan atau pengeluaran operasional perseroan sudah berdenominasi dolar AS.

“Kami yakini secara tidak langsung merupakan natural hedging atas paparan fluktuasi nilai tukar mata uang asing, sehingga kami saat ini tidak melakukan hedging terhadap eksposur valuta asing,” ujar Febriati kepada Bisnis, belum lama ini.

Berdasarkan laporan keuangan 2019, total liabilitas perseroan sebesar US$3,23 miliar yang terdiri atas liabilitas jangka pendek sebesar US$1,23 miliar dan liabilitas jangka panjang sebesar US$2 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper