Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Loyo, Beban Produksi Emiten Keramik Terkerek

Beban meningkat karena sebagian besar komponen dalam beban produksi dibukukan dalam denominasi valuta asing.
Komisaris Utama merangkap Komisaris Independen PT Cahayaputra Asa Keramik Tbk. Theo Lekatompessy (kiri) bersama Direktur Utama Johan Silitonga memberikan penjelasan saat RUPS di Jakarta, Selasa (23/4/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Komisaris Utama merangkap Komisaris Independen PT Cahayaputra Asa Keramik Tbk. Theo Lekatompessy (kiri) bersama Direktur Utama Johan Silitonga memberikan penjelasan saat RUPS di Jakarta, Selasa (23/4/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Para emiten dari kalangan produsen keramik menyatakan depresiasi rupiah bakal berdampak signifikan terhadap kinerja perseroan. Emiten menghadapi peningkatan risiko selisih kurs seiring pelemahan rupiah yang telah menembus Rp15.000 per dolar AS.

Direktur PT Cahayaputra Asa Keramik Tbk. (CAKK) Juli Berliana mengakui beban produksi akan meningkat karena pembelian bahan baku menggunakan denominasi valuta asing. Dia menyebut, proporsi denominasi valuta asing mencapai 70 persen dari pengadaaan bahan baku. 

“Sudah pasti cost produksi akan naik karena beberapa bahan baku masih dihitung dalam mata uang asing,” ungkap Juli kepada Bisnis,, Rabu (18/3/2020).

Dia menambahkan, perseroan sedang mempertimbangkan sejumlah strategi untuk menekan biaya produksi. Salah satu opsi yang tengah dikaji adalah melakukan substitusi bahan baku.

Di lain pihak, Chief Operating Officer & Director PT Arwana Citramulia Tbk. (ARNA) Edy Suyanto mengatakan kinerja industri keramik hingga kuartal pertama tahun ini di bawah ekspektasi. Eddy yang juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) menambahkan, kinerja belum sesuai harapan karena faktor cuaca, belum berjalannya proyek infrastruktur, dan penyebaran virus corona.

“Pelemahan nilai rupiah terhadap USD semakin mempersulit industri keramik di tengah lesunya pasar karena hampir sekitar 50 persen biaya produksi menggunakan mata uang asing US$ seperti pembayaran gas, bahan baku serta spareparts yang kebanyakan dari Italia, Spanyol dan China,” jelasnya kepada Bisnis, Rabu (18/3/2020).

Industri dianggap tidak bisa berbuat banyak berkaitan sensitivitas kurs mengingat pembayaran gas kepada PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) juga menggunakan kurs dolar AS.

Menurut Eddy, karantina wilayah atau lockdown di Italia dan Spanyol juga mulai mengganggu proses produksi industri keramik karena mesin-mesin produksi hampir 90 persen berasal dari Italia. 

Arkian, ketergantungan pasokan sparepart dari Italia amat tinggi. Bahan baku produksi seperti tinta yang dipakai di mesin digital printing juga berasal dari Italia dan Spanyol. “Hal diatas tentu langsung menyebabkan kenaikan biaya produksi industri keramik sehingga daya saing semakin tergerus,” tegasnya.

Secara garis besar, Edy memprediksi akan ada penurunan penjualan keramik dari seluruh pelaku industri hingga 15 persen pada kuartal I/2020 dibanding periode yang sama tahun 2019.

Sehingga sebagai ketua asosiasi, ia mengharapkan dukungan pemerintah untuk segera menurunkan harga gas industri sesuai rencana yakni US$6 per MMBtu karena penurunan harga gas tersebut sangat penting bagi eksistensi industri keramik di tengah lemahnya permintaan pasar domestik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper