Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perseteruan Rusia-Saudi dan Keruntuhan Harga Minyak

Pasar minyak tengah dalam tekanan ganda. Di samping sikap Rusia dan Saudi yang enggan memangkas produksi, permintaan juga diprediksi melemah sebagai dampak dari penyebaran virus corona.
Markas OPEC di Wina, Austria/Reuters-Leonhard Foeger
Markas OPEC di Wina, Austria/Reuters-Leonhard Foeger

Bisnis.com, JAKARTA - Syahdan, pada 1991 Perang Teluk meletus, dipicu invasi Irak ke Kuwait. Harga minyak saat itu ikut terjun bebas ke level belasan dolar AS per barel.

Hari ini, 29 tahun kemudian, harga minyak kembali terjun bebas, dipicu perang urat syaraf antara dua produsen minyak kelas kakap, Rusia dan Arab Saudi. Tanpa senjata dan bom, aksi saling ngotot antara Moskow dan Riyadh membuat harga minyak terjerembab. Sepanjang tahun berjalan 2020, harga minyak telah terkoreksi hingga 51,87 persen. 

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (9/3/2020) hingga pukul 14.07 WIB, harga minyak jenis WTI untuk kontrak April 2020 di bursa Nymex telah terkoreksi 27,08 persen atau 11,18 poin ke level US$30,1 per barel. Pada pertengahan perdagangan, minyak WTI sempat anjlok 33,77 persen dan sentuh level US$27,34 per barel.

Sementara itu, harga minyak jenis Brent kontrak Mei 2020 di bursa ICE terjun bebas  ke level US$33,94 per barel, melemah 25,03 persen atau 11,33 poin. Pada pertengahan perdagangan, minyak sempat anjlok 31,48 persen dan sentuh level US$31,02 per barel.

Harga minyak saat ini  merupakan posisi terendah minyak sejak Februari 2016. Selain itu, penurunan minyak juga merupakan penurunan harian terbesar kedua dalam catatan, yaitu sejak perang teluk pada 1991 yang sempat membuat minyak anjlok hingga 34 persen dalam satu hari dan menyentuh level US$16 per barel.

Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan bahwa penurunan harga minyak didorong oleh kegagalan Organization Petroleum Exporting Countries (OPEC) untuk menahan laju penurunan harga yang terjadi dalam beberapa perdagangan terakhir.

OPEC dan aliansinya, termasuk Rusia, melakukan pertemuan pada pekan lalu di Wina, Austria untuk membahas keberlanjutan kebijakan pemangkasan produksi. Produksi harus dipangkas agar harga minyak tidak semakin tergelincir.

Seperti yang sudah diketahui, pertemuan itu gagal. Tidak ada mufakat dan kesepakatan antara Rusia dan Arab Saudi yang sudah terjalin sejak 2016 untuk mengurangi produksi minyak, berakhir.

Di tengah penurunan harga minyak, Arab Saudi justru memutuskan untuk menaikkan jumlah produksi 10 juta hingga 12 juta barel per hari pada bulan depan. Potensi perang harga diyakini bakal terjadi. Apalagi, hal itu terjadi di saat permintaan diperkirakan dalam tren terburuk akibat penyebaran virus corona.

“Level terendah minyak US$26 per barel pada 2016, mungkin bisa  tersentuh dalam waktu dekat, seminggu atau dua minggu lagi,” jelas Ariston saat dihubungi Bisnis, Senin (9/3/2020).

Sementara itu, Analis Capital Futures Wahyu Laksono justru memprediksi harga minyak mentah global dapat menyentuh level US$20 per barel, bahkan hingga US$10 per barel jika perang harga bertahan dalam waktu cukup lama. Pasar minyak akan semakin babak belur karena di sisi lain juga diterpa sentimen negatif penyebaran virus corona.

“Minyak segera bergerak di kisaran US$20 per barel, bahkan US$10 per barel. Kita lihat saja perkembangannya,” ujar Wahyu kepada Bisnis, Senin (9/3/2020).

Bola di Tangan Arab Saudi

Sentimen minyak mentah global saat ini, lanjut Wahyu, sudah berfokus kepada perang harga Arab Saudi - Rusia, dibandingkan dengan sentimen penyebaran virus corona yang terus meluas ke negara luar selain China.

Pasar akan menanti kesepakatan baru dari pihak OPEC, dan arah harga minyak bergantung pada sikap Arab Saudi. Ibaratnya, Arab Saudi memegang bola panas dan kendali penuh pasar minyak saat ini.

Arab Saudi pun dinilai cukup berani mengambil keputusan ini karena biaya margin produksi minyak Arab Saudi berada di kisaran US$9 per barel hingga US$22 per barel. Sementara Rusia punya posisi margin lebih tinggi yaitu yaitu US$20 per barel hingga US$50 per barel.

Oleh karena itu, bila terjadi perang harga antara Rusia dan Saudi, Rusia akan lebih menderita. Untuk diketahui, salah satu alasan Rusia menolak pemangkasan produksi pada pertemuan OPEC pekan lalu karena  adalah penurunan harga minyak kala itu tidak berdampak besar terhadap keuangan Rusia. Namun, keadaan berubah secepat Arab Saudi membalikkan telapak tangan.

Lebih lanjut, Wahyu merekomendasikan untuk wait and see terlebih dahulu sebelum melakukan trading, kecuali jika trader berani floating loss di level US$10 per barel.

“Tetapi jika tidak siap anjlok ke level  US$10 per barel, jangan lakukan aksi buy on low. Saya rekomendasikan untuk menahan trading terlebih dahulu dan ini akan memakan waktu yang cukup lama, bahkan hingga berbulan-bulan,” jelas Wahyu.

Dus, bukan tidak mungkin bila Rusia dan Saudi terus berseteru, harga minyak akan kembali ke titik nadir, seperti 29 tahun lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Rivki Maulana

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper