Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ringkasan Perdagangan 30 Januari: IHSG dan Rupiah Kembali Tertekan Sentimen Global

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terseret sentimen global pada perdagangan hari ini, mengikuti gerak sejumlah bursa saham lainnya di Asia.

Bisnis.com, JAKARTA - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terseret sentimen global pada perdagangan hari ini, mengikuti gerak sejumlah bursa saham lainnya di Asia.

Adapun nilai nilai tukar rupiah juga berakhir melemah, meskipun sempat rebound pada perdagangan sebelumnya.

Berikut adalah ringkasan perdagangan di pasar saham, mata uang, dan komoditas yang dirangkum Bisnis.com, Kamis (30/1/2020):

IHSG Melemah Nyaris 1 Persen

Berdasarkan data Bloomberg, IHSG ditutup melemah 0,91 persen atau 55,45 poin ke level 6.057,6 dari level penutupan sebelumnya, meskipun sempat memperpanjang penguatannya dengan dibuka naik 0,28 persen atau 17,06 poin di posisi 6.130,1.

Pada perdagangan Rabu (29/1/2020), IHSG menutup pergerakannya di zona hijau yakni level 6.113,04 dengan kenaikan tipis 0,03 persen atau 1,86 poin.

Adapun sepanjang perdagangan hari ini, IHSG bergerak di level 6.048,88-6.130,80.

Seluruh sembilan sektor menetap di wilayah negatif, dipimpin sektor aneka industri (-2,40 persen) dan industri dasar (-1,39 persen).

Sebanyak 129 saham menguat, 270 saham melemah, dan 277 saham stagnan dari 676 saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.

 

Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS Hari Ini

Nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup melemah 23 poin atau 0,17 persen ke level Rp13.657 per dolar AS, setelah bergerak pada kisaran Rp13.634-Rp13.665 per dolar AS.

Sementara itu, indeks dolar AS yang melacak pergerakan greenback terhadap mata uang utama lainnya terpantau menguat 0,046 poin atau 0,05 persen ke level 98,037 pada pukul 15.56 WIB.

Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa pasar masih dibayangi oleh penyebaran virus corona. Menurutnya, pasar cemas penyebaran virus tersebut akan melemahkan aktivitas ekonomi China, salah satu negara ekonomi terbesar dunia, yang pada akhirnya dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi global.

“Kalau virus corona tidak bisa ditanggulangi secara serius bisa saja PDB China akan turun di 4,5 % sehingga mengindikasikan ekonomi China mengalami permasalahan yang serius pasca fase1 perang dagang antara AS dan China di tandatangani,” ujar Ibrahim. 

 

Kekhawatiran Penyebaran Virus Corona Terus Tekan Bursa Asia

Indeks MSCI Asia Pacific di luar Jepang turun 2 persen ke level terendah dalam tujuh pekan terakhir, sekaligus mengalami pelemahan enam hari berturut-turut.

Indeks Topix dan Nikkei 225 Jepang ditutup melemah masing-masing 1,48 persen dan 1,72 persen. Sementara itu, indeks Hang Seng merosot 2,62 persen dan indeks Kospi Korea Selatan melemah 1,71 persen.

Jumlah kematian yang dikonfirmasi dari virus di China telah meningkat menjadi 170 dengan 7.711 orang terinfeksi, dan lebih banyak kasus dilaporkan di seluruh dunia.

Pabrik-pabrik di China memperpanjang masa liburan, sedangkan maskapai global memangkas jumlah penerbangan dan peritel Swedia, Ikea, mengatakan akan menutup semua tokonya di China untuk membantu mengatasi wabah.

Wabah virus corona ini membuat para ekonom telah mulai memangkas prospek pertumbuhan ekonomi China.

 

Diterpa Sentimen Virus Corona, Harga Minyak Kian Tergelincir

Harga minyak terbujur lemah, melanjutkan tren negatif pada perdagangan Kamis (30/1/2020). Banderol minyak semakin tergelincir sejalan karena pelaku pasar khawatir terhadap kelebihan pasokan dan tekanan permintaan di tengah penyebaran wabah virus corona.

Berdasarkan data Bloomberg, hingga pukul 16.40 WIB, harga minyak mentah berjangka jenis WTI untuk kontrak Maret 2020 di Bursa Nymex  melemah 1,52 persen menjadi US$52,52 per barel. Sementara itu, minyak mentah jenis Brent untuk kontrak April 2020 di Bursa ICE terkoreksi 1,5 persen menjadi US$58,91 per barel.

Direktur Pelaksana RS Energy Group Ian Nieboer mengatakan ketakutan terkait pasokan akan berada dalam tekanan sangat terlihat di pasar. Untuk diketahui, persedian minyak mentah Amerika Serikat naik 3,5 juta barel sepanjang pekan lalu, sangat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan estimasi analis yang hanay 420 ribu barel.

 

Hampir Dua Pekan, Harga Tembaga Belum Move On

Harga tembaga turun selama 12 hari perdagangan secara berturut-turut, paling lama sepanjang sejarah. Wabah virus corona yang menerpa China menjadi salah satu pemicu utama.

Ahli Strategi ANZ Daniel Hynes mengatakan pembatasan perjalanan di China yang diramal masih akan bertahan dalam beberapa hari ke depan diyakini bisa menekan permintaan tembaga. Terlebih, saat ini manufaktur China, konsumen tembaga terbesar dunia, juga belum sepenuhnya pulih.

"Dengan asumsi shutdown selama dua minggu, diikuti oleh melambatnya sektor manufaktur dan konstruksi, kita bisa melihat permintaan tembaga turun dengan tingkat yang sama dengan 2003 saat epidemi SARS," ujar Daniel seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (30/1/2020).

Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Rabu (29/1/2020) harga tembaga di bursa London ditutup di level US$5.641 per ton, melemah 1,09 persen. Penurunan tersebut pun terjadi selama 12 perdagangan beruntun, menjadi penurunan terparah. Sepanjang tahun berjalan 2020, harga tembaga melemah 8,63 persen. 

 

Pergerakan Harga Emas Comex Hari Ini

Harga emas Comex untuk kontrak April 2020 terpantau menguat 9,9 poin atau 0,63 persen ke level US$1.585,90 per troy ounce.

Sementara itu, indeks dolar AS yang melacak pergerakan greenback terhadap mata uang utama lainnya terpantau menguat 0,046 poin atau 0,05 persen ke level 98,037 pada pukul 15.56 WIB.

Dalam rapat kebijakan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang berakhir Rabu (29/1) waktu setempat, The Fed memutuskan mempertahankan Fed Funds Rate pada 1,5 persen hingga 1,75 persen.

Kebijakan tersebut disebut sesuai untuk mendukung ekspansi kegiatan ekonomi yang berkelanjutan. The Fed juga mensinyalkan untuk tetap menahan kebijakan sementara waktu, sembari menekankan pentingnya mengangkat inflasi mencapai target.

Pada saat yang sama, penguatan emas juga ditopang oleh meningkatnya permintaan untuk aset investasi aman (safe haven) di tengah bertahannya kekhawatiran investor atas dampak virus corona terhadap pertumbuhan ekonomi.

“Selain faktor The Fed, alasan minat investor terhadap emas adalah dampak virus corona dan bagaimana hal itu akan memengaruhi data ekonomi China,” terang Bob Haberkorn, senior market strategist di RJO Futures.

 

Harga Emas Kian Mahal, Investor Ritel Menghindar

Reli harga emas ke level tertinggi dalam enam tahun terakhir telah membuat konsumen ritel menjauhi emas, termasuk di dua pasar ritel emas terbesar dunia China dan India.

Mengutip laporan World Gold Council yang dirilis pada Kamis (30/1/2020), pembelian emas ritel termasuk perhiasan, emas batangan, dan koin pada tahun lalu telah turun 11 persen ke level terendah dalam satu dekade terakhir. Padahal emas di pasar ritel berkontribusi sebanyak dua pertiga dari permintaan emas global.

Penurunan permintaan disumbang China dan India. Sepanjang 2019, volume permintaan perhiasan emas global telah turun 6 persen menjadi 2.107 ton. Kilau emas meredup karena harga emas terus melonjak sejak kuartal III/2019 dan berlanjut hingga penghujung tahun lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper