Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kasus Narada: OJK Disarankan Kembali Buka Top10 Underlying Asset Reksa Dana

Head of Investment Research Wawan Hendrayana mengatakan dalam rangka melindungi kepentingan investor, OJK bisa lebih menambah aspek transparansi lewat pengungkapan 10 besar underlying asset dari suatu produk reksa dana.
Karyawan menjawab telepon di Call Center Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di Jakarta, Selasa (30/7)./Bisnis-Abdullah Azzam
Karyawan menjawab telepon di Call Center Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di Jakarta, Selasa (30/7)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta untuk terus mengedepankan kepentingan investor, di tengah-tengah maraknya skandal dalam industri pengelolaan investasi belakangan ini.

Head of Investment Research Wawan Hendrayana mengatakan dalam rangka melindungi kepentingan investor, OJK bisa lebih menambah aspek transparansi lewat pengungkapan 10 besar underlying asset dari suatu produk reksa dana.

“Dulu sebelum 2008, sempat dibuka. Bahwa OJK mem-publish paling tidak top10 dari isi reksa dana secara harian,” kata Wawan kepada Bisnis.com pada akhir pekan lalu.

Namun, karena satu dan lain hal sejak 2008 praktik tersebut ditutup sampai sekarang. Seiring dengan munculnya kasus yang menimpa Narada Aset Manajemen baru-baru ini, kini dinilai waktu yang tepat bagi OJK untuk mempertimbangkan kembali menambah transparansi produk reksa dana.

Adapun dua produk reksa dana besutan Narada Aset Manajemen yang mengalami penurunan signifikan Nilai Aktiva Bersih (NAV) dalam tempo satu bulan membuktikan bahwa produk tersebut diisi oleh saham-saham yang volatil.

Berdasarkan data Infovesta Utama per 20 November 2019 (month-to-date), tiga produk reksa dana besutan Narada AM bertengger di posisi buntut dengan kinerja terburuk lebih dari -45%.

Produk tersebut a.l. Narada Saham Indonesia II, Narada CAmpuran I, dan Narada Saham Indonesia yang masing-masing anjlok -45,59%, -53,31%, dan -53,21%.

Narada AM pun mengalami gagal bayar pembelian beberapa efek saham hingga Rp177,78 miliar. Hal ini berpotensi membuat beberapa sekuritas mengalami kesulitan likuiditas dana dan dana modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) menjadi turun.

“Dengan kasus ini, menurut saya sudah saatnya kita menjadi terbuka lagi. Berkaca dengan AS kan industri reksa dananya sangat terbuka, bukan hanya top10 tapi lebih,” tutur Wawan.

Menurutnya, apabila top10 aset dasar reksa dana bisa diungkap lagi kepada umum lewat laman resmi OJK, investor dapat menganalisa lebih dalam mengenai strategi dari manajer investasi.

Sementara bagi MI, hal ini bisa membuat fund manager lebih disiplin untuk memilih underlying asset dan juga akan sulit untuk bermain dengan saham-saham berfundamental tidak terlalu baik.

Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee menjelaskan masalah kisruh gagal bayar sebuah aset managemen, terpangkasnya MKBD beberapa sekuritas, penghentian pengumpulan dana sebuah emiten, serta kejatuhan besar NAB per unit beberapa reksadana publik diperkirakan semakin menekan kinerja IHSG sampai akhir tahun.

“Risiko MKBD beberapa sekuritas telah membuat naiknya nilai hair cut dan membuat turunya transaksi margin. Penurunan MKBD yang berpotensi membuat suspen transaksi sebuah broker bisa membuat kepanikan di pasar bila di biarkan,” katanya.

Adapun sejumlah permasalahan tersebut telah membuat nilai transaksi harian di Bursa Efek Indonesia semakin turun. Berdasarkan data BEI per 22 November 2019, rata-rata nilai transaksi mencatatkan penurunan sebesar 3,69% menjadi Rp6,24 triliun dari Rp6,48 triliun pada penutupan pekan lalu.

Selanjutnya, nilai kapitalisasi pasar juga mengalami penurunan 0,44% menjadi Rp7.017,81 triliun dari Rp7.048,57 triliun pada penutupan pekan sebelumnya.

Kemudian untuk data rata-rata volume transaksi susut 6,70% menjadi 8,97 miliar unit saham dari 9,62 miliar unit saham selama pekan lalu dan data rata-rata frekuensi transaksi melemah 0,69% menjadi sebanyak 481,228 ribu kali transaksi dari 484,573 ribu kali transaksi pada penutupan pekan sebelumnya.

Hans menjelaskanm bahwa emiten dengan perusahaan yang terkait terlihat mengalami penurunan harga saham sangat besar dan beberapa sudah mencapai level Rp50. Hal itu pun menyulitkan investor atau pelaku pasar melakukan penjualan.

“Bila sebuah MI punya saham tersebut dan menghadapi proses redemption nasabah maka yang terpaksa di jual adalah saham-saham blue chipyang pada akhirnya menekan harga saham tersebut di pasar. Besarnya penurunan nilai NAB per unit beberapa reksadana publik mengindikasikan potensi risiko sistemik bila terjadi kepanikan di pasar jika masalah ini tidak di selesaikan dengan segera,” ujarnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Nicken Tari

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper