Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

MNC Sekuritas Turunkan Target IHSG ke Level 6.338

Pemberat langkah indeks berasal dari perlambatan ekonomi global, kinerja emiten yang kurang memuaskan pada periode Januari—September 2019, serta tiga defisit yang masih diderita Indonesia.
Pengunjung berjalan di dekat papan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kantor Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (10/6/2019)./Bisnis-Triawanda Tirta Aditya
Pengunjung berjalan di dekat papan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kantor Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (10/6/2019)./Bisnis-Triawanda Tirta Aditya

Bisnis.com, JAKARTA - MNC Sekuritas memangkas target indeks harga saham gabungan (IHSG) pada akhir 2019 dari proyeksi awal 6.700 ke level 6.338. Apa pemicunya?

Head of Research MNC Sekuritas Edwin Sebayang menyampaikan bahwa prospek IHSG pada akhir tahun ini menjadi suram setelah indeks sulit bangkit dari level 6.300—6.400 sejak Agustus 2019.

Pada akhir perdagangan Selasa (19/11/2019), IHSG ditutup menguat 0,48% ke level 6.152. Sejak awal tahun, indeks tergerus 0,68% setelah sempat menyentuh level tertinggi di level 6.636.

Adapun yang menjadi pemberat langkah indeks dinilainya berasal dari perlambatan ekonomi global, kinerja emiten yang kurang memuaskan pada periode Januari—September 2019, serta tiga defisit yang masih diderita Indonesia yaitu defisit dagang, defisit anggaran, dan defisit neraca berjalan.

“Makanya tidak heran kami menurunkan target indeks akhir tahun, yang awal tahun saya mengatakan bisa 6.700 menjadi 6.338,” kata Edwin dalam Diskusi Akhir Tahun yang diadakan oleh Perkumpulan Profesi Pasar Modal Indonesia (PROPAMI) di Main Hall BEI, Selasa (19/11/2019).

Dirinya menunjukkan dari laporan keuangan emiten konstituen indeks LQ45 per kuartal III/2019, tercatat rata-rata pertumbuhan laba hanya 3,16% sementara rata-rata pertumbuhan pendapatan merosot -29,78%.

Perlambatan ekonomi global disebut menjadi biang kerok dari perlambatan kinerja emiten. Pasalnya, sumber pendapatan utama Indonesia yang berasal dari batu bara dan CPO terpukul akibat perlambatan ekonomi di sejumlah negara tujuan ekspor, seperti China.

Ekonomi China yang masih diperkirakan terus melemah pada tahun depan pun tak membuat kondisi bakal lebih baik karena permintaan komoditas batu bara akan berkurang.

“PDB [produk domestik bruto] terus melambat karena pendapatan negara bersumber dari komoditas. Kalau dikatakan [PDB] bisa tumbuh 6%—7%, selama negara kita belum berubah dari negara komoditas menjadi negara manufaktur, itu bisa dikatakan menjadi mimpi,” imbuh Edwin.

Secara sektoral, beberapa sektor seperti pertanian, pertambangan, industri olahan, listrik dan gas, dan perdagangan telah tampil underperform ketimbang pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, sektor yang masih bertumbuh di atas PDB terdiri dari konstruksi, akonomdasi makanan dan minuman, informasi dan komunikasi, serta jasa keuangan.

Dengan demikian, pelemahan dan pertumbuhan sektoral pun berdampak terhadap kinerja emiten yang berkecimpung di sektor tersebut.

Ke depannya, Edwin berharap perlambatan tak merembes ke sektor konsumsi dan rumah tangga karena keduanya masih menjadi penopang pertumbuhan PDB yang diandalkan.

Pada akhir tahun ini, Edwin memperkirakan PDB hanya tumbuh 5% dengan CAD sebesar -2,3% dan inflasi 3,5%. Sementara itu, rata-rata EPS diperkirakan naik sekitar Rp396,1 dan PE sekitar 16 kali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Nicken Tari
Editor : Ana Noviani
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper