Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nikel Melemah Usai Meredanya Optimisme Damai Dagang

Sejumlah sentimen berpotensi mempengaruhi harga nikel dunia.
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA -- Harga nikel tertekan oleh meningkatnya sentimen risiko akibat ketegangan geopolitik di beberapa wilayah, termasuk perang dagang AS-China serta ketidakpastian Brexit, walaupun secara fundamental masih mampu membawa komoditas tersebut berada di jalur bullish.

Kendati demikian, kemungkinan digugatnya Indonesia oleh Uni Eropa (UE) ke World Trade Organization (WTO), dinilai bakal menjadi sentimen momentum untuk membalikkan arah harga nikel kembali ke jalur hijau. Indonesia merupakan produsen bijih nikel terbesar di dunia. 

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Selasa (24/9/2019), harga nikel berjangka untuk kontrak tiga bulanan di bursa LME melemah 1,66 persen menjadi US$17.180 per ton. Sementara itu, sepanjang tahun berjalan 2019, nikel telah menguat 60,71 persen.

Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan sentimen terkuat yang mempengaruhi perdagangan nikel adalah memudarnya optimisme damai dagang antara AS dan China. Hal ini ditambah dengan pidato Presiden AS Donald Trump di Sidang Umum PBB pada Selasa (24/9), yang penuh dengan kata-kata sensitif untuk China, seperti menyindir praktik perdagangannya, mata uang, kebebasan beragama, dan lain-lain.

Hal tersebut dapat memancing kembali pertikaian dengan China di saat kedua negara tengah menuju negosiasi dagang pada awal Oktober 2019. Sengketa dagang antara kedua negara telah terjadi sejak 2018.

Selain itu, kekhawatiran pasar terhadap no deal Brexit makin meningkat. Pasalnya, Mahkamah Agung Inggris telah menetapkan bahwa keputusan Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson untuk menangguhkan parlemen selama 5 pekan merupakan tindakan ilegal atau melanggar hukum.

Seperti diketahui, Brexit tanpa kesepakatan membuka ruang bagi Inggris untuk mengalami resesi sehingga pound sterling akan melemah.

“Sentimen-sentimen tersebut telah menguatkan dolar AS dan nikel yang diperdagangkan menggunakan greenback akan menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lain, sehingga cenderung dijauhi oleh para investor,” ujar Ibrahim kepada Bisnis.

Meski demikian, turunnya harga nikel ini dinilai masih dalam batas wajar. Alasannya, nikel telah memasuki masa konsolidasi setelah menyentuh level tertinggi dan menyebabkan aksi ambil untung. 

Dia mengatakan nikel masih dibayangi sentimen terbatasnya pasokan setelah Indonesia memajukan larangan ekspor bijih nikel menjadi awal tahun depan. Selain itu, Filipina, produsen bijih terbesar kedua di dunia, berpotensi menangguhkan lima perusahaan pertambangan pada akhir tahun ini sehingga mendorong harga untuk menguat signifikan.

Harga nikel pun diprediksi bergerak di kisaran US$17.000-US$17.500 per ton pada kuartal III/2019 dan kembali ke level US$18.000 per ton pada akhir tahun ini. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper