Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hingga Akhir Tahun, Karet dan CPO Diproyeksi Dalam Tekanan

Harga sawit diproyeksi bakal berada pada level rata-rata 2.200 ringgit per ton pada kuartal keempat tahun ini.
/Bisnis
/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA – Kinerja harga karet dan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) sejauh ini tidak mengesankan. Harga komoditas unggulan Indonesia tersebut cenderung ‘layu’ tertekan sejumlah sentimen negatif.

Data Bloomberg menunjukkan, harga CPO di Bursa Derivatif Malaysia sejak awal tahun berkurang sedikit 0,50% ke level 2.206 ringgit per ton pada 11 September 2019, dari 2.195 ringgit pada awal tahun ini.

Jika dilihat secara tahunan, harga bahan baku minyak goreng itu bahkan merosot 8,12%, dari 2.401 ringgit per ton pada 12 September 2018.

Akan tetapi bila dibandingkan dengan tingkat harga dalam 5 tahun terakhir, harga sawit telah menguat 14,23%.

Masuk di jalur pelemahan, sejak awal tahun, harga karet berjangka di Tokyo Commodity Exchange (Tocom) anjlok 4,63% ke posisi 168,80 yen per kilogram pada 11 September 2019, dari 177,00 yen.

Namun, secara tahunan, harga karet menguat walaupun tipis hanya 0,59% dari 167,80 yen per kilogram pada 12 September 2018. Berbeda dengan sawit, dalam 5 tahun belakangan, harga karet alam tersebut telah minus 12,67%.

Buruknya kinerja dua komoditas agrikultur tersebut setahun terakhir ini, tak lepas dari berita-berita negatif yang mengiringi. Untuk sawit, kampanye hitam dari Uni Eropa telah menjadi sandungan bagi CPO untuk menguat. Dalam hal ini, UE telah menuduh sawit sebagai penyebab deforestasi.

Kabar teranyar, pada Juli lalu, dilansir dari Reuters, Komisi Eropa berencana mengajukan bea impor dari 8% hingga 18% untuk impor biodiesel dari Indonesia. Pukulan ganda bagi biodiesel Tanah Air, setelah Uni Eropa memutuskan pada Maret, minyak kelapa sawit tidak lagi dinggap ramah lingkungan, sehingga harus dihapuskan dari bahan bakar transportasi terbarukan.

Bagi Indonesia, sebagai produsen sawit terbesar dunia, Uni Eropa konsumen yang cukup penting. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, ekspor minyak sawit mentah Indonesia dan turunannya pada semester I/2019 ke UE mencapai 2,41 juta ton. Di belakang China sebagai pembeli utama yang memborong 2,54 juta ton.

Bagi karet, perang dagang Amerika Serikat dan China yang berkepanjangan telah melemahkan harga. Sebab perseteruan dua raksasa ekonomi tersebut telah menyeret perlambatan ekonomi global. Di dalamnya termasuk menurunkan penjualan otomotif global. Dampaknya permintaan karet untuk ban kendaraan ikut melempem pula.

Menurut data IHS Markit dan LMC Automotive seperti dilansir dari Reuters, penjualan otomotif di Asia Pasifik diperkirakan mencapai 43-44 juta kendaraan pada tahun lalu, kini diproyeksikan jatuh 2 – 3,5% setelah penurunan 1% pada tahun lalu.

International Rubber Study Group pun memperkirakan permintaan karet bakal melambat 2,2% pada tahun ini.

Walaupun begitu, harga karet mendapat dorongan pada tahun ini, setelah para produsen dunia, yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC) sepakat mengurangi ekspor demi sebesar 300.000 ton. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan harga karet global yang tertekan pada awal 2019.

Proyeksi Harga

Pada sisa tahun ini, kedua harga komoditas itu memiliki harapan untuk menguat. Untuk CPO, analis Rabobank Oscar Tjakra memperkirakan, harga sawit bakal berada pada level rata-rata 2.200 ringgit per ton pada kuartal keempat tahun ini. Selanjutnya naik naik menjadi 2.300 ringgit per ton pada kuartal pertama tahun depan.

Hal itu bisa terwujud dengan catatan, Indonesia meningkatkan mandat biodieselnya menjadi B30 pada Januari 2020. Pada saat yang sama, China meningkatkan permintaannya.

Mandat B30 Indonesia diperkirakan akan membantu menguras stok minyak sawit di pasar. Sebab produsen sawit terkemuka tersebut memiliki dana yang cukup untuk memberi insentif pada pencampuran B30 tahun depan.

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia telah mengumpulkan Rp14,48 triliun sepanjang Januari hingga November 2018. Dari jumlah tersebut, hanya Rp7,47 triliun yang digunakan untuk insentif produksi biodiesel.

Sementara itu, persediaan sawit China minus 9,4% secara bulanan pada akhir Agustus lalu. China juga telah membeli lebih banyak minyak sawit karena persediaan yang rendah, akibat permintaan festival.

Untuk harga karet, sepertinya menanti redanya perang dagang antara China dan AS. Masalahnya bila perang masih berlanjut, maka harga komoditas ini bisa semakin tertekan, karena pasokan global berlimpah dari negara-negara produsen tidak terserap dengan baik.

Sebaliknya, jika kedua negara itu membaik maka dapat menyerap persediaan karet. Untuk diketahui, China merupakan konsumen karet terbesar di dunia.

Bank Dunia dalam laporannya memperkirakan stimulus fiskal di China, bersamaan dengan penurunan suku bunga di banyak negara maju, diperkirakan akan merangsang permintaan karet global pada tahun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dika Irawan
Editor : Ana Noviani
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper