Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produksi Nikel Filipina 2019 Diproyeksi Tumbuh Moderat

Produksi nikel Filipina tahun ini diprediksi hanya akan tumbuh moderat dari hasil saat ini sebagai upaya untuk menjaga prospek pertumbuhan pertambangannya.
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Produksi nikel Filipina tahun ini diprediksi hanya akan tumbuh moderat dari hasil saat ini sebagai upaya untuk menjaga prospek pertumbuhan pertambangannya.

Mengutip publikasi riset Fitch Solutions, pertumbuhan produksi nikel yang cenderung moderat tahun ini untuk menjaga keseimbangan pertambangan dalam jangka menengah di tengah peraturan lingkungan yang ketak dan ketidakpastian kebijakan oleh pemerintah Filipina yang akan merusak iklim investasi.

“Namun, keputusan pemerintah Indonesia untuk memajukan larangan ekspor bijih nikel dua tahun lebih awal dari rencana justru akan menimbulkan risiko terbalik dari upaya penambang Filipina terhadap perkiraan produksi nikel yang kurang baik,” tulis Fitch Solutions seperti dikutip dari publikasi risetnya, Rabu (4/9/2019).

Keputusan Indonesia tersebut diprediksi akan membuat pasar global mengalami defisit nikel hingga 100.000 ton pada 2020, dan kesenjangan pasokan tersebut dinilai tidak akan diisi siapapun.

China sebagai konsumen bijih nikel terbesar di dunia, mengimpor sekitar 26 juta ton bijih nikel dalam tujuh bulan pertama tahun ini, yang terdiri atas 14,3 juta ton dari Filipina, sekitar 10,8 juta dari Indonesia, dan sekitar 709.000 ton dari Kaledonia Baru. 

Fitch Solutions menilai pabrik peleburan nikel di China, yang saat ini mengimpor sebagian besar bijihnya dari Indonesia, kemungkinan akan melihat ke Filipina sebagai sumber pasokan alternatif.

“Hal tersebut karena kedekatannya dan kapasitas penambangan nikel yang substansial,” papar Fitch Solutions.

Di sisi lain, harga nikel di bursa LME pada penutupan perdagangan Selasa (3/9/2019), berada di level US$17.985 per ton menyelesaikan reli kuatnya selama 6 perdagangan berturut-turut dengan melemah 0,42%.

Namun, pada perdagangan Rabu (4/9/2019) hingga pukul 19.17 WIB, harga nikel di bursa LME berhasil berbalik menguat 0,24% menjadi US$17.935 per ton didorong oleh melemahnya dolar AS.

Pelemahan greenback tersebut membuat logam yang digunakan sebagai bahan pembuat baterai mobil listrik menjadi lebih murah bagi investor dengan mata uang lain.

Adapun, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang mayor bergerak melemah 0,39% menjadi 98,613.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper