Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Larangan Ekspor Indonesia Dimajukan, Harga Nikel Meroket

Pada perdagangan Senin (2/9/2019) hingga pukul 16.33 WIB, harga nikel di bursa London bergerak menguat 3,62% menjadi US$18.547,5 per ton.
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Nikel memperpanjang reli penguatan dan berhasil mencapai level tertingginya sejak 2014 setelah Indonesia mengumumkan untuk memajukan batasan larangan ekspor bijih nikel menjadi 1 Januari 2020 yang semula berlaku pada awal 2022.

Keputusan tersebut diprediksi semakin memperketat pasar dan memacu spekulasi bahwa logam yang digunakan sebagai bahan stainless steel tersebut akan mengalami defisit pasokan yang cukup signifikan.

Pada perdagangan Senin (2/9/2019) hingga pukul 16.33 WIB, harga nikel di bursa London bergerak menguat 3,62% menjadi US$18.547,5 per ton. Adapun, penguatan nikel kali ini melanjutkan kenaikan sebesar 8,8% pada perdagangan Jumat (30/8/2019), yang merupakan kenaikan harian terbesar dalam satu dekade.

Di sisi lain, harga nikel di bursa Shanghai untuk kontrak November 2019 bergerak naik 6% menjadi 136.960 yuan per ton.

Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa kenaikan harga nikel didorong penuh oleh keputusan Indonesia untuk memajukan batasan larangan ekspor bijih nikel yang terjadi bersamaan dengan meningkatnya permintaan nikel sebagai bahan baku baterai mobil listrik.

“Sentimen-sentimen ini sangat mengangkat harga nikel secara signifikan, bahkan sekarang harga nikel sudah melampaui harga timah,” ujar Ibrahim kepada Bisnis, Senin (2/9/2019).

Sebagai informasi, harga timah di bursa London berada di level US$17.167,5 per ton, naik 5,44%.

Akibatnya, Ibrahim memprediksi nikel dapat mencapai kembali ke level tertingginya pada 2014 lalu dengan mudah di sekitar US$21.000 per ton jika pada akhir tahun sentimen perang dagang berhasil mereda dan Inggris berhasil keluar dari Uni Eropa dengan kesepakatan.

Sementara itu, jika sentimen perang dagang tidak mereda dan Inggris keluar tanpa membawa kesepakatan apapun dengan Uni Eropa, harga nikel akan cenderung bertahan di level US$18.750 per ton.

Senada, Chief Executive Officer di Global Ferronickel Holdings Inc. Dante Bravo mengatakan bahwa keputusan Indonesia tersebut akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kenaikan harga nikel, bijih nikel, dan besi kasar nikel.

Adapun, sentimen larangan ekspor bijih mineral tersebut telah menjadi subjek spekulasi pasar sehingga berhasil menghilangkan sentimen kekhawatiran terhadap perang dagang yang memberikan tekanan pada pertumbuhan permintaan.

Nikel menjadi satu-satunya logam dasar yang berhasil terapresiasi sepanjang tahun berjalan ini di saat logam lainnya terkontraksi. Nikel di bursa London berhasil bergerak naik sebesar 67,45% secara year to date.

“Mengingat kemungkinan adanya keterbatasan pasokan yang akan datang lebih awal, pembeli China juga mungkin datang untuk memesan nikel lebih awal,” ujar Dante seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (2/9/2019).

Seperti yang diketahui, Indonesia sebagai pemasok bijih nikel terbesar dunia, pada Jumat (30/8) mengumumkan akan memajukan larangan ekspor bijih mineral, termasuk nikel, 2 tahun lebih awal dari jadwal semula, yaitu pada 1 Januari 2020. Langkah tersebut pun dimaksudkan untuk mendorong pengembangan industri pengolahan dalam negeri.

Adapun, sejak lebih dari satu dekade lalu, Indonesia memiliki peran yang cukup penting bagi pasar nikel setelah industri baja nirkarat China mulai menggunakan nickel pig iron, atau NPI, sebagai input alternatif untuk nikel olahan. Hampir semua ekspor bijih nikel Indonesia digunakan untuk memberi makan industri baja nirkarat raksasa China.

Menurut Shanghai Metals Market, larangan ekspor tersebut akan menyebabkan kekurangan pasokan sekitar 100.000 ton pada 2020, atau kekuarangan 11% dari total permintaannya. Sementara itu, pemasok besar lainnya, termasuk Filipina, tidak akan mampu menutupi kekurangan tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Ana Noviani
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper